Ketika Riset Menyatu dengan Nurani, Dari Bandung Menyapa Dunia
“Ilmu tanpa kolaborasi hanyalah bunyi hening di ruang sunyi. Tetapi ilmu yang berpadu dengan hati akan menjadi cahaya bagi kehidupan.”
Oleh Karnita
Ruang Ilmu yang Tak Lagi Sekadar Laboratorium
Apa jadinya jika riset kampus berhenti hanya di jurnal? Pertanyaan itu menjadi relevan ketika penulis merespons berita di Pikiran-Rakyat.com, 16 Oktober 2025 tentang kerja sama monumental kolaborasi antara Daewoong Foundation dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang membentuk Daewoong Drug Delivery System Research Institute (DDS RI) ITB — sebuah laboratorium kolaboratif yang membawa napas baru bagi riset farmasi Indonesia.
Sebagai pembaca dan pemerhati dunia pendidikan serta riset, saya tertarik bukan hanya karena prestasi teknologinya, tetapi karena nilai kemanusiaan yang terkandung di baliknya. Di era ketika riset sering dipersepsikan semata sebagai ajang kompetisi intelektual, proyek ini justru menegaskan pentingnya sinergi antara ilmu, industri, dan empati sosial. Inovasi yang lahir dari kolaborasi lintas batas inilah yang membuat Bandung — kota ilmu dan kreativitas — kembali menjadi simbol kebangkitan sains Indonesia di mata dunia.
Konteksnya pun sangat relevan dengan kebutuhan masa kini: kemandirian farmasi nasional pascapandemi, kebutuhan akan transfer teknologi, serta lahirnya talenta muda yang bukan hanya pintar di laboratorium, tetapi juga peka terhadap kebutuhan nyata masyarakat. Maka, kisah Daewoong–ITB bukan sekadar berita riset, melainkan refleksi tentang arah baru pendidikan tinggi Indonesia: kolaboratif, berdampak, dan berjiwa kemanusiaan.
1. Laboratorium yang Menyatukan Banyak Dunia
Laboratorium Daewoong DDS RI ITB bukan ruang sunyi penuh tabung reaksi, melainkan simpul pertemuan berbagai disiplin ilmu dan semangat manusia. Dengan menggandeng delapan kampus besar seperti UGM, UI, UNPAD, UNAIR, UNHAS, ITERA, i3L, dan Poltekkes Bandung, kolaborasi ini menjelma menjadi peta baru ekosistem riset nasional. Setiap universitas membawa keunggulan unik—dari teknik formulasi, kontrol mutu, hingga analisis bioteknologi.
Bagi para peneliti muda, ruang ini menjadi laboratorium kehidupan. Mereka bukan hanya belajar tentang struktur kimia atau reaksi enzim, tetapi juga tentang makna kebersamaan dalam ilmu. Seperti diungkapkan oleh Dr. Eka Noviana dari UGM, “Riset terbaik adalah ketika setiap pihak merasa menjadi bagian dari penemuan yang lebih besar dari dirinya sendiri.” Kalimat ini mencerminkan semangat riset kolaboratif yang menjadi napas lembaga tersebut.
Lebih dari itu, pendekatan co-research lintas kampus membentuk generasi ilmuwan baru yang tak lagi terkungkung oleh ego institusi. Mereka belajar bahwa ilmu adalah kerja kolektif, bukan kompetisi individual. Dan mungkin, di situlah letak kemajuan bangsa dimulai—dari kemauan untuk berbagi, bukan dari keinginan untuk menonjol sendiri.