Ketika Cahaya Menyapa Pelangiran: 15 Tahun Menunggu Terang, Kini Tak Lagi Si Pungguk Merindukan Bulan
“Kadang harapan memang datang terlambat, tapi saat ia tiba, ia menyinari segalanya.”
Oleh Karnita
Terang yang Tak Sekadar Listrik
Apa rasanya menunggu cahaya selama lima belas tahun? Pertanyaan itu menyeruak ketika membaca laporan Kompas.com bertajuk “Listrik Menyala, Harapan Pun Hidup: Cerita 15 Tahun Penantian Warga Pelosok Indragiri Hilir” (17 Oktober 2025). Kisah Elza Neti Ramadhani, perempuan 26 tahun dari Pelangiran, Riau, menyalakan simpul kecil tentang betapa mahalnya arti terang di tengah gelapnya pelosok negeri.
Berita itu bukan sekadar kabar tentang listrik yang menyala; ia adalah kabar tentang hidup yang kembali bergerak. Ketika PLN akhirnya menembus kampung yang dulu hanya diterangi pelita, kehidupan warga berubah: UMKM bergeliat, anak-anak belajar tanpa cemas, dan ibu-ibu berdagang tanpa takut sayur membusuk. Semua bermula dari satu sumber: cahaya.
Namun di balik gemerlap harapan itu, tersimpan catatan reflektif: mengapa butuh 15 tahun bagi cahaya untuk tiba? Pertanyaan itu menggiring kita pada renungan lebih dalam — tentang ketimpangan pembangunan, peran kebijakan, dan makna pemerataan energi bagi martabat manusia Indonesia.
1. Dari Gelap Menuju Terang: Kisah yang Tak Sekadar Teknis
Sebelum listrik PLN hadir pada 2025, kehidupan di Pelangiran berputar dalam ritme yang pelan dan terbatas. Mesin genset menjadi sahabat malam hari, hanya menyala hingga pukul sebelas malam. Setelah itu, gelap menelan seluruh kampung; hanya suara jangkrik dan desir angin yang menjadi penanda kehidupan.
Dalam keadaan itu, Elza berjualan sayur dari pagi hingga sore. Tanpa kulkas, dagangan yang tak laku membusuk. Namun ia bertahan, karena dalam kesunyian pun, semangat manusia kerap menemukan jalannya sendiri. Ketika listrik akhirnya datang, bukan hanya lampu yang menyala — harapan pun hidup kembali.
