Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Batu Bicara di Gunung Padang, Kita Sedang Menyimak Jejak Peradaban

13 Oktober 2025   13:10 Diperbarui: 13 Oktober 2025   13:10 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengunjung menaiki tangga Situs Megalitik Gunung Padang yang kini tengah dipugar tim Kementerian Kebudayaan RI. (KOMPAS.COM/FIRMAN T.)

Dalam konteks pendidikan nasional, pendekatan ini layak dijadikan model pembelajaran lintas disiplin—arkeologi, lingkungan, dan nilai kebangsaan. Masyarakat yang terlibat atau sekadar menyaksikan akan memahami bahwa pelestarian bukan hanya tugas ahli, tetapi tanggung jawab kolektif.

2. Antara Ilmu Pengetahuan dan Spiritualitas

Gunung Padang sering disebut sebagai piramida tertua di dunia, dengan struktur yang konon lebih tua dari peradaban Mesir Kuno. Klaim ini masih menjadi perdebatan ilmiah, namun daya tariknya tak terbantahkan. Di balik batu-batu berundak itu tersimpan lapisan makna yang melampaui batas logika: spiritualitas, ritual, dan simbol kebersamaan manusia prasejarah.

Pemugaran yang sedang berlangsung sebenarnya juga adalah proses rekonsiliasi antara sains dan kepercayaan. Tim arkeolog meneliti tekstur batu, komposisi tanah, hingga rekonstruksi bentuk, sementara masyarakat adat menjaga nilai-nilai sakral situs itu. Keduanya berjalan beriringan, saling menghormati ruang ilmu dan ruang keyakinan.

Jika ditarik ke konteks nasional, keseimbangan seperti ini adalah cerminan ideal pembangunan kebudayaan Indonesia. Kita membutuhkan ilmu untuk membangun, tapi juga nilai untuk menuntun arah pembangunan itu. Gunung Padang, dalam diamnya, mengajarkan harmoni antara logika dan nurani.

3. Risiko Alam dan Tantangan Konservasi

Pemugaran di area dengan kontur curam tentu tidak mudah. Lereng bukit Gunung Padang yang tinggi berpotensi longsor jika tidak diperkuat dengan cermat. Karena itu, salah satu fokus utama tim pemugaran adalah penguatan struktur alami bukit sebelum melanjutkan rekonstruksi. Ali Akbar menyebut bahwa setiap batuan diperiksa posisi dan teksturnya agar tidak mengganggu kestabilan situs.

Pendekatan ini menunjukkan kesadaran bahwa pelestarian budaya tidak bisa dilepaskan dari pelestarian alam. Gunung Padang tidak hanya warisan manusia, tapi juga bagian dari ekosistem pegunungan yang rapuh. Jika konservasi diabaikan, ancaman longsor bukan hanya merusak situs, tapi juga menodai tanggung jawab generasi terhadap lingkungan.

Tantangan konservasi juga menyentuh aspek sosial: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan ekonomi wisata dengan perlindungan situs. Pembatasan zona wisata menjadi kompromi cerdas—pengunjung tetap bisa hadir, tapi tidak mengancam keutuhan situs. Di sinilah kebijakan publik diuji: antara edukasi dan eksploitasi.

4. Gunung Padang dan Cermin Identitas Bangsa

Gunung Padang bukan sekadar peninggalan arkeologis; ia adalah metafora tentang identitas bangsa yang berlapis. Dari batu-batu yang disusun berundak, kita bisa membaca kesabaran, ketekunan, dan rasa hormat pada alam. Di era yang serba cepat ini, nilai-nilai itu terasa makin langka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun