Ketika Musik Bicara Ekosistem, Bukan Sekadar Irama
“Musik adalah bahasa universal, tapi ekosistemlah yang menjadikannya berdaulat.”
Oleh Karnita
Menuju Nada Dasar yang Berkeadilan
Bisakah musik menjadi cermin kemajuan bangsa? Pertanyaan itu menggema ketika Konferensi Musik Indonesia (KMI) 2025 berlangsung di Jakarta pada 8–11 Oktober 2025. Dalam perhelatan tersebut dibahas isu royalti, pendidikan, dan teknologi menjadi nada dasar dalam diskusi panjang tentang masa depan industri musik Indonesia.
Di tengah euforia digital dan maraknya platform streaming, ekosistem musik nasional ternyata masih timpang. Para musisi berjuang bukan hanya untuk didengar, tetapi juga untuk dihargai secara layak. Di sinilah KMI menjadi relevan—bukan sekadar pertemuan seremonial, melainkan panggung untuk memperjuangkan keseimbangan antara kreativitas, keadilan, dan keberlanjutan.
Sebagai penulis yang tumbuh dalam suasana di mana musik menjadi ruang ekspresi sekaligus kritik sosial, saya melihat KMI 2025 bukan sekadar konferensi tahunan. Ia adalah refleksi kegelisahan lama: bagaimana karya seni bertahan di tengah sistem yang belum matang. Dari isu royalti hingga peran pemerintah daerah, seluruhnya menggambarkan satu kenyataan—bahwa musik Indonesia membutuhkan fondasi ekosistem yang berdaulat.
1. Royalti: Nada yang Masih Sumbang
Masalah royalti telah lama menjadi “nada sumbang” dalam harmoni industri musik nasional. Pongki Barata menyoroti kerumitan distribusi data royalti, pencatatan log sheet, hingga minimnya kepercayaan terhadap Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Dalam praktiknya, banyak karya yang mengudara di berbagai platform tanpa laporan pemutaran yang akurat, sehingga musisi sering kali tak menerima hak ekonominya.
Permasalahan ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga budaya keadilan. Banyak pengguna lagu belum memahami bahwa setiap pemutaran karya mengandung hak moral dan finansial bagi pencipta. Maka, kesadaran publik menjadi langkah awal untuk memperbaiki rantai distribusi yang selama ini timpang.
Keadilan royalti adalah bentuk penghormatan terhadap kerja intelektual dan emosional seniman. Ketika hak itu diabaikan, musik kehilangan martabatnya sebagai karya budaya. Karena itu, sistem digital yang transparan seperti yang disiapkan LMKN.id perlu diiringi edukasi publik dan penegakan hukum yang konsisten.
2. Pendidikan Musik: Menanam Harmoni Sejak Dini
Gilang Ramadhan dengan tegas menyebut pendidikan musik sebagai pondasi karakter bangsa. Musik bukan sekadar keterampilan artistik, tetapi instrumen pembentuk disiplin, empati, dan kepekaan sosial. Namun, pendidikan musik di Indonesia masih dipandang sebagai pelengkap, bukan bagian inti dari kurikulum pembentukan manusia kreatif.
KMI 2025 menegaskan perlunya reformasi kurikulum musik di semua jenjang pendidikan. Pendidikan seni harus menjadi wahana penumbuhan karakter, bukan hanya latihan teknis bermain alat. Di sinilah peran pemerintah dan lembaga pendidikan menjadi penting untuk menciptakan ekosistem pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan industri kreatif masa depan.
Ketika anak diajarkan mendengar, menimbang, dan menyesuaikan nada, ia sejatinya sedang belajar hidup dalam harmoni sosial. Pendidikan musik yang baik melatih manusia untuk berpikir selaras, bukan seragam—dan itu pula yang dibutuhkan bangsa ini.
3. Teknologi dan AI: Antara Peluang dan Ancaman
Era kecerdasan buatan membawa dilema baru bagi industri musik. Di satu sisi, AI mampu mempercepat produksi, distribusi, dan promosi karya musik. Namun di sisi lain, ia juga berpotensi menghapus nilai keaslian dan mengaburkan batas antara ciptaan manusia dan mesin. Dalam KMI 2025, isu ini menjadi perdebatan penting yang menyentuh inti dari hak cipta dan kreativitas.
Penggunaan AI dalam musik seharusnya dipandang sebagai kolaborator, bukan kompetitor. Kebijakan publik perlu mengatur secara adil agar teknologi tidak menggerus hak moral dan finansial pencipta asli. Perlindungan hukum melalui regulasi baru—seperti Peraturan Menteri Hukum No 27 Tahun 2025—menjadi bentuk adaptasi negara terhadap zaman digital.
Jika musik adalah bahasa hati, maka AI hanyalah alat penerjemah. Keindahan sejati musik lahir dari pengalaman manusia, bukan algoritma. Maka, bijaklah memanfaatkan teknologi agar tidak kehilangan jiwa yang membuat musik tetap hidup.
4. Musik dan Ekonomi Daerah: Irama yang Menggerakkan
Bima Arya menekankan pentingnya musik sebagai penggerak ekonomi daerah. Dalam konteks otonomi daerah, musik bukan sekadar hiburan, melainkan aset strategis yang mampu menghidupkan sektor pariwisata, UMKM, dan ekonomi kreatif lokal. Program Kharisma Event Nusantara menjadi contoh nyata bagaimana festival musik dapat mendongkrak potensi wilayah.
Namun, tanpa perencanaan dan tata kelola yang baik, potensi itu mudah berubah menjadi euforia sesaat. Pemerintah daerah perlu menata ulang pendekatan terhadap industri musik—tidak hanya melalui event tahunan, tetapi juga melalui infrastruktur, pelatihan, dan dukungan pembiayaan yang berkelanjutan.
Musik daerah seharusnya tidak hanya hadir sebagai tontonan, tetapi juga sebagai identitas dan kebanggaan kolektif. Dari panggung-panggung kecil itulah irama ekonomi rakyat bisa tumbuh, menandai keseimbangan antara budaya dan pembangunan.
5. Kolaborasi dan Tata Kelola: Membangun Nada Dasar Bersama
KMI 2025 merekomendasikan kolaborasi lintas sektor: antara musisi, pemerintah, promotor, dan dunia pendidikan. Kolaborasi ini penting untuk membangun sistem musik nasional yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Tanpa tata kelola yang baik, kebijakan sebesar apa pun akan gagal mengharmonikan kepentingan para pelaku industri.
Reformasi tata kelola royalti dan penyederhanaan regulasi pertunjukan adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Namun, transparansi data dan kejelasan mekanisme pengawasan menjadi kunci agar sistem tidak kembali terjebak dalam praktik lama.
Musik adalah kerja kolektif. Ia tak bisa tumbuh hanya dari satu instrumen, tetapi dari orkestra kepemimpinan dan kebijakan publik yang berpihak pada pencipta. Seperti dalam orkestra, keselarasan lebih penting dari suara paling keras.
Mengakhiri dengan Nada Dasar yang Jernih
“Musik yang baik tidak hanya terdengar, tapi juga dirasakan.” Kalimat itu terasa tepat untuk menggambarkan semangat KMI 2025. Di tengah dinamika industri yang kian kompleks, harapan terbesar adalah lahirnya sistem yang mampu melindungi, memberdayakan, dan menghidupkan musik sebagai bagian dari kebudayaan bangsa.
Ekosistem musik nasional adalah refleksi cara kita menghargai kreativitas. Jika bangsa ini ingin disegani, maka keadilan bagi seniman harus menjadi nada dasar pembangunan. Karena tanpa itu, musik hanya akan menjadi gema indah tanpa makna.
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis berdasarkan laporan media dan refleksi atas perkembangan industri musik nasional, tidak mewakili lembaga mana pun.
Daftar Pustaka
- Republika.co.id. (12 Oktober 2025). Konferensi Musik Indonesia 2025 Bahas Ekosistem Musik Nasional. https://www.republika.co.id
- Kemendikbudristek. (2025). Rencana Strategis Pengembangan Musik Nasional 2025–2030. https://www.kemdikbud.go.id
- LMKN.id. (2025). Sistem Digital Penyaluran Royalti Musik Nasional. https://www.lmkn.id
- Antara News. (10 Oktober 2025). KMI 2025: Musik dan AI dalam Industri Kreatif. https://www.antaranews.com
- Kompas.com. (11 Oktober 2025). Gilang Ramadhan: Pendidikan Musik Harus Dimulai dari Sekolah Dasar. https://www.kompas.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI