2. Pendidikan Musik: Menanam Harmoni Sejak Dini
Gilang Ramadhan dengan tegas menyebut pendidikan musik sebagai pondasi karakter bangsa. Musik bukan sekadar keterampilan artistik, tetapi instrumen pembentuk disiplin, empati, dan kepekaan sosial. Namun, pendidikan musik di Indonesia masih dipandang sebagai pelengkap, bukan bagian inti dari kurikulum pembentukan manusia kreatif.
KMI 2025 menegaskan perlunya reformasi kurikulum musik di semua jenjang pendidikan. Pendidikan seni harus menjadi wahana penumbuhan karakter, bukan hanya latihan teknis bermain alat. Di sinilah peran pemerintah dan lembaga pendidikan menjadi penting untuk menciptakan ekosistem pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan industri kreatif masa depan.
Ketika anak diajarkan mendengar, menimbang, dan menyesuaikan nada, ia sejatinya sedang belajar hidup dalam harmoni sosial. Pendidikan musik yang baik melatih manusia untuk berpikir selaras, bukan seragam—dan itu pula yang dibutuhkan bangsa ini.
3. Teknologi dan AI: Antara Peluang dan Ancaman
Era kecerdasan buatan membawa dilema baru bagi industri musik. Di satu sisi, AI mampu mempercepat produksi, distribusi, dan promosi karya musik. Namun di sisi lain, ia juga berpotensi menghapus nilai keaslian dan mengaburkan batas antara ciptaan manusia dan mesin. Dalam KMI 2025, isu ini menjadi perdebatan penting yang menyentuh inti dari hak cipta dan kreativitas.
Penggunaan AI dalam musik seharusnya dipandang sebagai kolaborator, bukan kompetitor. Kebijakan publik perlu mengatur secara adil agar teknologi tidak menggerus hak moral dan finansial pencipta asli. Perlindungan hukum melalui regulasi baru—seperti Peraturan Menteri Hukum No 27 Tahun 2025—menjadi bentuk adaptasi negara terhadap zaman digital.
Jika musik adalah bahasa hati, maka AI hanyalah alat penerjemah. Keindahan sejati musik lahir dari pengalaman manusia, bukan algoritma. Maka, bijaklah memanfaatkan teknologi agar tidak kehilangan jiwa yang membuat musik tetap hidup.
4. Musik dan Ekonomi Daerah: Irama yang Menggerakkan
Bima Arya menekankan pentingnya musik sebagai penggerak ekonomi daerah. Dalam konteks otonomi daerah, musik bukan sekadar hiburan, melainkan aset strategis yang mampu menghidupkan sektor pariwisata, UMKM, dan ekonomi kreatif lokal. Program Kharisma Event Nusantara menjadi contoh nyata bagaimana festival musik dapat mendongkrak potensi wilayah.
Namun, tanpa perencanaan dan tata kelola yang baik, potensi itu mudah berubah menjadi euforia sesaat. Pemerintah daerah perlu menata ulang pendekatan terhadap industri musik—tidak hanya melalui event tahunan, tetapi juga melalui infrastruktur, pelatihan, dan dukungan pembiayaan yang berkelanjutan.