Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Senyum, Jasa, dan Dosa yang Tak Pernah Usai dalam Senyum Karyamin (1)

9 Oktober 2025   10:27 Diperbarui: 9 Oktober 2025   10:27 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesan moralnya jelas: kesabaran bukan berarti kepasrahan, dan tawa bukan berarti tanpa luka. Ahmad Tohari mengajarkan bahwa senyum orang miskin bukanlah kelucuan, melainkan bentuk keikhlasan yang diam-diam menegur keserakahan dunia.

2. Jasa-jasa Buat Sanwirya: Amal yang Jadi Perhitungan

Cerita ini menggambarkan ironi di balik solidaritas sosial. Ketika Sanwirya sakit parah, warga desa bukannya langsung menolong, melainkan berdebat tentang bentuk “bantuan” yang paling tepat—dari pinjaman padi hingga ide asuransi. Di balik diskusi itu, terselip kepentingan dan rasa ingin tampak berjasa. Nyai Sanwirya akhirnya meledak, menolak belas kasihan yang penuh hitung-hitungan.

Dalam realitas hari ini, kisah ini mencerminkan banyak lembaga atau komunitas yang menjadikan empati sebagai performa, bukan panggilan hati. Bantuan sosial sering dibingkai dalam foto, laporan, atau popularitas. Ahmad Tohari dengan cermat menelanjangi mekanisme itu, mengingatkan bahwa niat baik bisa kehilangan makna bila diatur secara birokratis.

Refleksinya dalam kehidupan jelas terasa: menolong seharusnya spontan dan manusiawi, bukan ajang menegakkan gengsi. Kebaikan sejati tak butuh perhitungan, karena yang dihitung akhirnya bukan pahala, melainkan keuntungan sosial.

3. Si Minem Beranak Bayi: Aib yang Menyembuhkan Nurani

Sampul Senyum Karyamin (Foto: Goodreads) 
Sampul Senyum Karyamin (Foto: Goodreads) 

Cerpen ini menampilkan Minem, perempuan yang dikucilkan karena melahirkan anak tanpa suami. Di mata masyarakat, ia berdosa. Namun, lewat penggambaran lembut, Tohari menghadirkan sisi lain dari “pelaku dosa” itu—seorang ibu yang mencintai bayinya dengan tulus tanpa dendam kepada siapa pun. Ia memilih diam, dan diam itulah yang justru paling menggugat.

Relevansinya dengan masa kini sangat kuat. Di era digital, penghakiman publik bisa terjadi lebih kejam dari gosip di desa. Kisah Minem mengingatkan bahwa moralitas tanpa empati akan melahirkan kekerasan sosial baru: mencaci atas nama kebenaran. Tohari menempatkan cinta ibu sebagai nilai tertinggi yang menembus batas moral buatan manusia.

Pesannya menggugah: yang paling hina di mata masyarakat belum tentu yang paling kotor di mata Tuhan. Dalam ketulusan Minem, kita belajar bahwa kasih sejati tak membutuhkan legitimasi sosial, cukup ketulusan hati yang bersih.

Keunggulan dan Kelemahan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun