Tarik-ulur Tambang Rumpin, Dilema Antara Pembangunan dan Keberlanjutan Lingkungan
“Pembangunan tanpa kendali hanya akan menukar kesejahteraan masa depan dengan ketertiban hari ini.”
Oleh Karnita
Pasir, Jalan, dan Tarik-Menarik Kepentingan
Apakah debu di Parung Panjang kini menjadi simbol tarik-ulur antara pembangunan dan keberlanjutan? Pertanyaan ini mencuat setelah Kompas.com pada Sabtu, 4 Oktober 2025 menerbitkan laporan berjudul “Perang Pasir di Bogor: KDM Tutup Tambang Rumpin, Menteri PU Jalan Terus” karya Hilda B. Alexander. Di tengah hiruk-pikuk truk tambang dan proyek tol bernilai triliunan rupiah, publik dihadapkan pada dilema klasik: menegakkan ketertiban atau mengejar target infrastruktur nasional.
Keputusan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), untuk menutup tambang pasir di Rumpin, Parung Panjang, dan Cigudeg memantik reaksi berantai. Tidak hanya para pengusaha tambang yang cemas, tetapi juga kontraktor proyek strategis seperti Tol Bogor–Serpong via Parung dan Tol Japek II Selatan. Bagi sebagian, ini langkah berani; bagi lainnya, ini risiko besar terhadap stabilitas rantai pasok material pembangunan di Jabodetabek.
Penulis tertarik pada isu ini bukan sekadar karena kebijakan tersebut mengguncang industri tambang, tetapi karena ia menguji keseimbangan baru antara otoritas daerah, pemerintah pusat, dan etika pembangunan. Saat Menteri PU Dody Hanggodo menegaskan proyek tetap jalan, publik bertanya-tanya: sampai sejauh mana negara menoleransi kerusakan lingkungan demi kejar waktu?
Ketegasan KDM: Antara Ketertiban dan Keberanian Politik
Langkah KDM menutup tambang bukan keputusan reaktif, melainkan bentuk tanggung jawab sosial yang jarang diambil pejabat daerah. Dalam surat tertanggal 25 September 2025, ia menegaskan bahwa penutupan itu bersifat sementara untuk menata ulang tata kelola pertambangan yang dinilai “bermasalah”. Dengan demikian, keputusan ini lebih mirip jeda moral ketimbang larangan total.
Masalahnya, di balik kebijakan berani ini, tersimpan potensi guncangan ekonomi. Pasir Rumpin dikenal sebagai “urat nadi” proyek-proyek infrastruktur Jabodetabek. Ketika distribusinya tersendat, efek domino terhadap harga dan waktu pengerjaan tak terelakkan. Namun, KDM tampak lebih memilih berhadapan dengan risiko politik ketimbang membiarkan warganya hidup di tengah polusi dan jalan rusak.