Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tarik-ulur Tambang Rumpin, Dilema Antara Pembangunan dan Keberlanjutan Lingkungan

6 Oktober 2025   18:54 Diperbarui: 6 Oktober 2025   18:54 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi jalan rusak dan berdebu akibat truk tambang yang melintas di Jalan Parung Panjang, Kab. Bogor, Jawa Barat, (8/1/2025).(KOMPAS.COM/Afdhalul I.)

Tarik-ulur Tambang Rumpin, Dilema Antara Pembangunan dan Keberlanjutan Lingkungan

“Pembangunan tanpa kendali hanya akan menukar kesejahteraan masa depan dengan ketertiban hari ini.”

Oleh Karnita

Pasir, Jalan, dan Tarik-Menarik Kepentingan

Apakah debu di Parung Panjang kini menjadi simbol tarik-ulur antara pembangunan dan keberlanjutan? Pertanyaan ini mencuat setelah Kompas.com pada Sabtu, 4 Oktober 2025 menerbitkan laporan berjudul “Perang Pasir di Bogor: KDM Tutup Tambang Rumpin, Menteri PU Jalan Terus” karya Hilda B. Alexander. Di tengah hiruk-pikuk truk tambang dan proyek tol bernilai triliunan rupiah, publik dihadapkan pada dilema klasik: menegakkan ketertiban atau mengejar target infrastruktur nasional.

Keputusan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), untuk menutup tambang pasir di Rumpin, Parung Panjang, dan Cigudeg memantik reaksi berantai. Tidak hanya para pengusaha tambang yang cemas, tetapi juga kontraktor proyek strategis seperti Tol Bogor–Serpong via Parung dan Tol Japek II Selatan. Bagi sebagian, ini langkah berani; bagi lainnya, ini risiko besar terhadap stabilitas rantai pasok material pembangunan di Jabodetabek.

Penulis tertarik pada isu ini bukan sekadar karena kebijakan tersebut mengguncang industri tambang, tetapi karena ia menguji keseimbangan baru antara otoritas daerah, pemerintah pusat, dan etika pembangunan. Saat Menteri PU Dody Hanggodo menegaskan proyek tetap jalan, publik bertanya-tanya: sampai sejauh mana negara menoleransi kerusakan lingkungan demi kejar waktu?

Ketegasan KDM: Antara Ketertiban dan Keberanian Politik

Langkah KDM menutup tambang bukan keputusan reaktif, melainkan bentuk tanggung jawab sosial yang jarang diambil pejabat daerah. Dalam surat tertanggal 25 September 2025, ia menegaskan bahwa penutupan itu bersifat sementara untuk menata ulang tata kelola pertambangan yang dinilai “bermasalah”. Dengan demikian, keputusan ini lebih mirip jeda moral ketimbang larangan total.

Masalahnya, di balik kebijakan berani ini, tersimpan potensi guncangan ekonomi. Pasir Rumpin dikenal sebagai “urat nadi” proyek-proyek infrastruktur Jabodetabek. Ketika distribusinya tersendat, efek domino terhadap harga dan waktu pengerjaan tak terelakkan. Namun, KDM tampak lebih memilih berhadapan dengan risiko politik ketimbang membiarkan warganya hidup di tengah polusi dan jalan rusak.

Kebijakan ini menyiratkan pesan kuat: pembangunan tak boleh menindas hak hidup warga lokal. Ia menegaskan kembali prinsip “ketertiban publik di atas laba industri”. Dan dalam konteks demokrasi daerah, langkah ini menjadi contoh bahwa kepala daerah masih bisa memegang teguh mandat ekologis di tengah arus proyek besar.

Menteri PU dan Janji yang Tak Boleh Retak

Berbeda arah, Menteri PU Dody Hanggodo memilih nada menenangkan: proyek tidak akan berhenti. Ia menjanjikan koordinasi lintas lembaga agar pasokan pasir tetap tersedia tanpa menabrak kebijakan provinsi. “Kita sesuaikan dengan ketentuan Jawa Barat, nanti akan dibuka lagi,” ujarnya. Kata “akan” itu menandakan diplomasi, bukan defiance.

Namun, janji ini menyimpan pertanyaan strategis: seberapa realistis koordinasi tersebut dalam waktu singkat? Proyek Tol Bogor–Serpong via Parung bernilai Rp12,3 triliun menuntut stabilitas logistik, sedangkan kebijakan daerah tengah mengunci sumber material utama. Di sinilah terlihat jurang antara urgensi ekonomi nasional dan sensitivitas sosial daerah.

Klaim Dody untuk tetap “mengawal AMDAL” menunjukkan kesadaran terhadap risiko ekologis. Tetapi tanpa reformasi tata kelola tambang, pengawalan itu bisa berubah menjadi formalitas. Publik menunggu bukti nyata: bukan sekadar janji beton, melainkan keberlanjutan yang berpihak pada manusia dan lingkungan.

Jalan yang Retak: Infrastruktur di Tengah Ketegangan

Jalan-jalan di Parung Panjang dan Rumpin menjadi saksi bisu paradoks pembangunan. Truk-truk raksasa membawa pasir setiap hari, meninggalkan jejak kerusakan yang harus diperbaiki dengan dana publik. Ironisnya, bahan untuk membangun jalan justru menjadi penyebab jalan hancur.

Ketegangan ini menyingkap problem klasik tata kelola daerah tambang: izin tumpang tindih, pengawasan lemah, dan koordinasi minim antara pemerintah pusat dan daerah. Selama dua dekade terakhir, banyak wilayah kaya sumber daya justru menjadi zona korban dari pembangunan itu sendiri. Ketika pasir berubah jadi komoditas politik, debu tak hanya beterbangan di jalanan, tapi juga di meja birokrasi.

Inilah ujian terbesar konsep “infrastruktur berkeadilan”. Tanpa regulasi yang menempatkan masyarakat sebagai pusat kebijakan, pembangunan hanya akan menjadi kompetisi kecepatan antarinstansi, bukan kolaborasi untuk kesejahteraan bersama.

4. Antara Ekonomi dan Ekologi: Siapa yang Menang?

KDM menyoroti aspek lingkungan sebagai dasar kebijakan, sementara Kementerian PU mengedepankan kepentingan ekonomi makro. Keduanya sama-sama benar dalam domainnya, tetapi kebenaran parsial tak pernah menghasilkan keadilan utuh. Dalam jangka panjang, pembangunan tanpa keseimbangan ekologis hanya akan memindahkan beban biaya ke generasi berikutnya.

Contoh nyata terlihat di banyak wilayah tambang lain—dari Lumajang hingga Kulonprogo—di mana penataan ulang tambang seringkali datang terlambat. Rumpin kini punya kesempatan untuk tidak mengulang kesalahan serupa: menunda pembangunan demi menegakkan standar baru yang lebih bersih dan bertanggung jawab.

Kemenangan sejati bukan pada proyek yang selesai tepat waktu, tetapi pada proyek yang meninggalkan warisan lingkungan yang masih bisa ditinggali. “Beton bisa retak, tapi kepercayaan publik tak boleh,” demikian kira-kira pesan tersirat dari peristiwa ini.

Jalan Tengah: Tata Kelola sebagai Titik Temu

Pemerintah pusat dan daerah perlu menempuh jalan tengah yang realistis. Kementerian PU dapat memfasilitasi mekanisme zona tambang terbatas dengan sertifikasi ketat, sementara Pemprov Jabar memastikan pengawasan berbasis masyarakat. Dengan demikian, pembangunan tidak berhenti, dan warga pun tidak lagi menjadi korban eksternalitas ekonomi.

Selain itu, momentum ini bisa menjadi pintu reformasi bagi seluruh sistem perizinan tambang di Indonesia. Jika tata kelola dan transparansi rantai pasok ditingkatkan, konflik antara proyek nasional dan kepentingan lokal dapat dihindari sejak awal. Di sinilah nilai strategis kebijakan KDM: bukan sekadar larangan, tapi koreksi struktural.

Krisis ini juga mengingatkan kita bahwa pembangunan sejati menuntut dialog, bukan dominasi. Dalam setiap butir pasir, tersimpan cerita tentang pilihan moral pemerintah: membangun cepat atau membangun benar.

Penutup: Ketika Debu Harus Reda Sebelum Beton Mengeras

“Kebijakan yang berpihak pada lingkungan adalah investasi moral bangsa.”

Kisah “perang pasir” di Bogor adalah miniatur politik pembangunan Indonesia: serbuan ambisi ekonomi yang berhadapan dengan panggilan tanggung jawab ekologis. Di tengah perbedaan suara antara KDM dan Menteri PU, publik berharap ada ruang untuk kebijakan yang lebih jernih dan berkelanjutan.

Mungkin inilah momen bagi pemerintah untuk menyadari bahwa keberlanjutan bukan hambatan, melainkan fondasi kokoh pembangunan jangka panjang. Jalan tol bisa dibangun ulang, tapi hutan, udara, dan kepercayaan publik tidak. Di situlah makna sejati dari “pembangunan untuk manusia”. Wallahu a'lam. 

Disclaimer:
Tulisan ini merupakan analisis independen berbasis pemberitaan media arus utama. Penulis tidak mewakili pandangan lembaga atau institusi mana pun.

Daftar Pustaka

  1. Alexander, Hilda B. (2025, 4 Oktober). “Perang Pasir di Bogor: KDM Tutup Tambang Rumpin, Menteri PU Jalan Terus.” Kompas.com. https://www.kompas.com/properti/read/2025/10/04/160000521/perang-pasir-di-bogor-kdm-tutup-tambang-rumpin-menteri-pu-jalan-terus
  2. Kompas.id. (2025, 4 Oktober). “Proyek Perdana Jalan Tol di Pemerintahan Prabowo.” https://www.kompas.id
  3. Kompas.com. (2025, 3 Oktober). “Diskon Tarif Tol Bakal Diberlakukan saat Libur Nataru 2025/2026.” https://www.kompas.com
  4. Pikiran Rakyat. (2025, 5 Oktober). “Dedi Mulyadi Minta Tambang Pasir di Rumpin Tertibkan Diri.” https://www.pikiran-rakyat.com
  5. Tempo.co. (2025, 4 Oktober). “Kementerian PU Pastikan Proyek Tol Tak Terganggu Penutupan Tambang.” https://www.tempo.co

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun