Kebijakan ini menyiratkan pesan kuat: pembangunan tak boleh menindas hak hidup warga lokal. Ia menegaskan kembali prinsip “ketertiban publik di atas laba industri”. Dan dalam konteks demokrasi daerah, langkah ini menjadi contoh bahwa kepala daerah masih bisa memegang teguh mandat ekologis di tengah arus proyek besar.
Menteri PU dan Janji yang Tak Boleh Retak
Berbeda arah, Menteri PU Dody Hanggodo memilih nada menenangkan: proyek tidak akan berhenti. Ia menjanjikan koordinasi lintas lembaga agar pasokan pasir tetap tersedia tanpa menabrak kebijakan provinsi. “Kita sesuaikan dengan ketentuan Jawa Barat, nanti akan dibuka lagi,” ujarnya. Kata “akan” itu menandakan diplomasi, bukan defiance.
Namun, janji ini menyimpan pertanyaan strategis: seberapa realistis koordinasi tersebut dalam waktu singkat? Proyek Tol Bogor–Serpong via Parung bernilai Rp12,3 triliun menuntut stabilitas logistik, sedangkan kebijakan daerah tengah mengunci sumber material utama. Di sinilah terlihat jurang antara urgensi ekonomi nasional dan sensitivitas sosial daerah.
Klaim Dody untuk tetap “mengawal AMDAL” menunjukkan kesadaran terhadap risiko ekologis. Tetapi tanpa reformasi tata kelola tambang, pengawalan itu bisa berubah menjadi formalitas. Publik menunggu bukti nyata: bukan sekadar janji beton, melainkan keberlanjutan yang berpihak pada manusia dan lingkungan.
Jalan yang Retak: Infrastruktur di Tengah Ketegangan
Jalan-jalan di Parung Panjang dan Rumpin menjadi saksi bisu paradoks pembangunan. Truk-truk raksasa membawa pasir setiap hari, meninggalkan jejak kerusakan yang harus diperbaiki dengan dana publik. Ironisnya, bahan untuk membangun jalan justru menjadi penyebab jalan hancur.
Ketegangan ini menyingkap problem klasik tata kelola daerah tambang: izin tumpang tindih, pengawasan lemah, dan koordinasi minim antara pemerintah pusat dan daerah. Selama dua dekade terakhir, banyak wilayah kaya sumber daya justru menjadi zona korban dari pembangunan itu sendiri. Ketika pasir berubah jadi komoditas politik, debu tak hanya beterbangan di jalanan, tapi juga di meja birokrasi.
Inilah ujian terbesar konsep “infrastruktur berkeadilan”. Tanpa regulasi yang menempatkan masyarakat sebagai pusat kebijakan, pembangunan hanya akan menjadi kompetisi kecepatan antarinstansi, bukan kolaborasi untuk kesejahteraan bersama.
4. Antara Ekonomi dan Ekologi: Siapa yang Menang?
KDM menyoroti aspek lingkungan sebagai dasar kebijakan, sementara Kementerian PU mengedepankan kepentingan ekonomi makro. Keduanya sama-sama benar dalam domainnya, tetapi kebenaran parsial tak pernah menghasilkan keadilan utuh. Dalam jangka panjang, pembangunan tanpa keseimbangan ekologis hanya akan memindahkan beban biaya ke generasi berikutnya.