Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Seribu Sehari, Solidaritas atau Beban Baru bagi Warga?

6 Oktober 2025   16:17 Diperbarui: 6 Oktober 2025   16:17 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gagasan Dedi Mulyadi memang memantik harapan besar. Tapi seperti banyak inisiatif sosial berbasis donasi, transparansi dan kejelasan mekanisme penggunaan dana menjadi kunci. Tanpa itu, potensi niat baik justru bisa kehilangan maknanya di mata publik.

Rp1.000 yang Menyentuh Ranah Kebijakan Publik

Jika setiap warga Jawa Barat menyumbang Rp1.000 per hari, jumlah yang terkumpul bisa mencapai miliaran rupiah setiap bulan. Secara matematis, angka ini bisa membantu menutup sebagian kebutuhan pendidikan atau kesehatan masyarakat miskin. Namun, pertanyaan berikutnya muncul: apakah kebijakan donasi semacam ini merupakan solusi struktural terhadap kemiskinan?

Kesejahteraan sosial sejatinya menuntut kebijakan redistributif, bukan sekadar pengumpulan donasi. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 memang membuka ruang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, tetapi peran utama tetap diemban negara. Donasi publik dapat menjadi pelengkap, bukan pengganti tanggung jawab fiskal pemerintah.

Dengan kata lain, gerakan ini harus ditempatkan sebagai katalis solidaritas, bukan instrumen substitusi kebijakan. Tanpa strategi jangka panjang yang jelas, gerakan sehari seribu bisa terjebak dalam simbolisme moral tanpa dampak sistemik.

Resonansi dan Kritik Warga: Solidaritas Bukan Urunan

Sejumlah warga, seperti Rivaldi (23) asal Bandung, menyampaikan keberatan terhadap gerakan ini. Ia menilai tidak etis ketika pemerintah meminta donasi dari masyarakat yang sudah menunaikan kewajibannya melalui pajak. “Harusnya pemerintah yang membantu warga miskin, bukan minta lagi dari masyarakat,” ujarnya (Republika, 4/10/2025). Kritik semacam ini mewakili suara banyak warga yang merindukan kehadiran negara secara penuh.

Kritik tersebut perlu dibaca bukan sebagai penolakan terhadap nilai gotong royong, melainkan sebagai bentuk kontrol terhadap batas etika kebijakan. Ketika warga harus membayar pajak sekaligus berdonasi, potensi tumpang tindih tanggung jawab fiskal menjadi nyata. Kebijakan publik yang baik semestinya tidak hanya menggugah rasa empati, tapi juga menjaga rasa adil.

Namun demikian, ada pula warga yang menilai gerakan ini positif jika dijalankan dengan prinsip sukarela dan transparan. Artinya, keberhasilan program semacam ini bergantung pada keseimbangan antara semangat sosial dan akuntabilitas publik.

Antara Simbol dan Substansi Keadilan Sosial

Dalam pandangan sosiologis, gerakan semacam ini dapat menjadi alat untuk menghidupkan kembali etos gotong royong di masyarakat urban. Tapi tantangannya terletak pada perbedaan daya dukung ekonomi antarwarga. Seribu rupiah mungkin kecil bagi ASN, tetapi bisa berarti bagi pelajar atau pekerja informal. Di titik inilah sensitivitas kebijakan diuji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun