Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ketika Keramahan Jadi Modal Utama di Negeri Sakura, Bagaimana Kita Merawatnya?

4 Oktober 2025   16:17 Diperbarui: 4 Oktober 2025   16:17 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jepang. WNI Ditangkap Kepolisian di Jepang, Diduga Curi Tas Mewah Rp 1 M(Dok. Unsplash/Se. Tsuchiya)

Ketika Keramahan Jadi Modal di Negeri Sakura, Bagaimana Kita Merawatnya?

"Bekerja bukan hanya soal gaji, tapi juga soal bagaimana kita dihargai sebagai manusia."

Oleh Karnita

Pintu Baru Harapan bagi Pekerja Indonesia

Mengapa Jepang begitu terbuka pada tenaga kerja Indonesia, bahkan dengan tawaran gaji hingga Rp 55 juta per bulan? Pertanyaan ini menggelitik kita setelah membaca laporan Kompas.com (04/10/2025) yang mengungkapkan krisis demografi Jepang membuka peluang besar bagi pekerja asing. Di balik tawaran menggiurkan itu, tersimpan kenyataan bahwa keramahan orang Indonesia menjadi modal utama di negeri Sakura.

Bagaimana kemudian keramahan dan hospitality orang Indonesia bisa menjadi alasan utama Jepang mengincar tenaga kerja kita? Menurut Menteri Transmigrasi M. Iftitah Sulaiman Suryanagara, sebagaimana dikutip Kompas.com, pekerja asal Indonesia dianggap nomor satu di antara bangsa lain karena etos kerja dan sikapnya. Fakta ini menunjukkan bahwa nilai sosial kita ternyata dihargai tinggi dalam ekosistem global.

Bukankah hal ini seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk menguatkan kualitas SDM, bukan hanya ramah tetapi juga unggul dalam keterampilan? Ketertarikan penulis pada isu ini lahir dari keyakinan bahwa bekerja di luar negeri bukan semata mencari nafkah, melainkan juga membawa citra bangsa. Oleh karena itu, peluang ini sangat relevan bagi generasi muda Indonesia yang tengah mencari masa depan lebih baik.

Krisis Demografi Jepang: Sebuah Peluang

Jepang saat ini menghadapi penurunan jumlah penduduk usia produktif yang cukup drastis. Fenomena ini mengakibatkan banyak sektor industri, kesehatan, hingga pelayanan publik mengalami kekurangan tenaga kerja. Dalam kondisi inilah, Indonesia hadir sebagai mitra strategis.

Pemerintah Jepang membutuhkan hingga 40.000 tenaga kerja dari Indonesia, namun sejauh ini baru sekitar 25.000 yang bisa dipenuhi. Angka ini menunjukkan masih terbukanya ruang besar bagi pekerja muda Indonesia yang ingin berkarier di sana. Di sisi lain, pemerintah Indonesia mendorong transmigran untuk mengikuti program magang dengan durasi beragam sebelum kembali membangun daerah asal.

Krisis ini memberi kita pelajaran penting bahwa tantangan demografi global selalu membuka peluang baru. Jepang tidak hanya mencari pekerja, tetapi juga mencari pribadi yang bisa beradaptasi dengan kultur kerja yang ketat. Maka, kesiapan mental dan kultural menjadi sama pentingnya dengan keterampilan teknis.

Keramahan sebagai Kekuatan Sosial

Dubes Jepang Akui Pekerja Indonesia Lebih Dicari dan Dihargai di Jepang  (dok. Priority.co.id)
Dubes Jepang Akui Pekerja Indonesia Lebih Dicari dan Dihargai di Jepang  (dok. Priority.co.id)

Mengapa orang Indonesia begitu diapresiasi di Jepang? Jawabannya sederhana: keramahan, kesopanan, dan kemampuan beradaptasi. Karakter ini membuat pekerja Indonesia dianggap mampu memahami kultur kerja Jepang yang sangat menghargai harmoni sosial.

Hospitality bukan sekadar basa-basi, melainkan nilai sosial yang menjadi kekuatan bangsa kita. Di tengah dunia kerja yang keras, sikap ramah mampu meredakan ketegangan dan menjaga hubungan kerja tetap sehat. Jepang melihat hal ini sebagai kelebihan yang tidak semua bangsa miliki.

Namun, keramahan saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan keterampilan teknis. Oleh karena itu, pekerja Indonesia harus terus meningkatkan kompetensi agar bisa mengimbangi apresiasi budaya dengan kinerja yang profesional.

Nilai Ekonomi yang Menggoda

Gaji Rp 25 juta hingga Rp 55 juta per bulan tentu membuat banyak orang tergoda. Angka ini jelas jauh di atas rata-rata gaji pekerja di Indonesia. Bagi banyak keluarga, kesempatan ini bisa menjadi jalan keluar dari lingkaran kemiskinan.

Namun, kita perlu mengingat bahwa di balik angka besar itu terdapat tantangan besar pula. Tingginya biaya hidup di Jepang, tekanan kerja yang disiplin, hingga tuntutan profesionalisme bisa menjadi ujian berat. Maka, pekerja Indonesia harus mempersiapkan diri dengan matang sebelum memutuskan untuk berangkat.

Nilai ekonomi ini juga memberi refleksi pada kita tentang pentingnya menciptakan ekosistem kerja yang adil di dalam negeri. Jika Indonesia bisa memberi apresiasi setara pada pekerjanya, mungkin banyak anak muda tidak perlu merantau jauh.

Magang sebagai Investasi Jangka Panjang

Program magang ke Jepang yang ditawarkan pemerintah Indonesia sebenarnya bukan hanya soal kerja. Ini adalah investasi jangka panjang bagi pengembangan sumber daya manusia. Pekerja yang kembali dari Jepang diharapkan membawa ilmu dan etos kerja untuk membangun daerah asal.

Skema magang 2 hingga 10 tahun memberi ruang bagi transmigran untuk menyerap pengetahuan teknis sekaligus kultur kerja disiplin. Jika hal ini dijalankan dengan baik, transmigrasi tidak hanya menjadi program pemindahan penduduk, tetapi juga transfer keterampilan.

Namun, kita perlu waspada agar pekerja Indonesia tidak sekadar dijadikan “mesin kerja murah” di luar negeri. Perlindungan hukum, kontrak kerja yang adil, dan kesiapan mental sangat penting agar program ini tidak merugikan mereka.

Diplomasi Budaya lewat Pekerja Migran

Tenaga Kerja Indonesia (Okezone) 
Tenaga Kerja Indonesia (Okezone) 

Tenaga kerja Indonesia bukan hanya hadir sebagai individu yang mencari nafkah. Mereka sekaligus menjadi duta bangsa di negeri orang. Cara mereka bekerja, bersikap, dan berinteraksi akan membentuk citra Indonesia di mata Jepang.

Dengan demikian, setiap pekerja Indonesia sejatinya sedang melakukan diplomasi budaya. Mereka membawa nilai ramah tamah, gotong royong, dan ketekunan ke dunia internasional. Jika dijaga dengan baik, ini bisa memperkuat hubungan diplomatik kedua negara.

Inilah alasan mengapa isu tenaga kerja tidak boleh hanya dilihat dari sisi ekonomi. Ada dimensi sosial dan kultural yang sama pentingnya. Pemerintah perlu mendukung pekerja migran dengan pendidikan pra-keberangkatan yang menyeluruh.

Menutup Harapan di Negeri Sakura

Akhirnya, kita kembali pada pertanyaan: apa makna sebenarnya dari tawaran gaji tinggi di Jepang? Bukan hanya rupiah, melainkan pengakuan bahwa pekerja Indonesia dihargai karena kualitas manusianya. Ini adalah modal yang perlu terus kita rawat dan tingkatkan.

Harapan terbesar adalah agar peluang ini tidak hanya menguntungkan individu, tetapi juga bangsa. Ketika para pekerja kembali, mereka bisa membawa ilmu, pengalaman, dan semangat baru untuk membangun daerah asal.

"Kerja keras adalah doa yang terlihat, dan keramahan adalah wajah bangsa di mata dunia." Semoga setiap pekerja Indonesia di Jepang mampu menjadi bukti bahwa bangsa ini tidak hanya bisa bekerja, tetapi juga memberi makna. Wallahu a'lam. 

Disclaimer

Tulisan ini merupakan analisis pribadi berbasis berita resmi Kompas.com. Penulis tidak bermaksud menyinggung pihak manapun.

Daftar Pustaka

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun