4. Ketika Ilmu dan Hati Harus Bertemu
Keputusan BNPB dan Basarnas untuk menghentikan pencarian manual lalu mengerahkan lima crane besar adalah bagian dari realitas pahit. Secara ilmu pengetahuan, tanda kehidupan sudah nihil. Namun, bagaimana dengan sisi hati? Bagaimana perasaan keluarga yang berharap?
Diskusi dengan keluarga korban menunjukkan dilema yang manusiawi. Antara harapan menemukan nyawa atau menerima kenyataan untuk segera mengevakuasi jenazah. Akhirnya, keputusan kolektif diambil, demi menghormati transparansi dan kepastian.
Pelajaran di sini adalah pentingnya menyelaraskan logika ilmu dengan empati hati. Keputusan teknis dalam bencana tidak pernah steril dari rasa. Justru di sinilah nilai kemanusiaan diuji: sejauh mana negara hadir bukan hanya dengan prosedur, tetapi juga dengan kelembutan.
5. Dari Reruntuhan ke Tanggung Jawab Bangsa
Musibah ini menyisakan pertanyaan besar: mengapa bangunan tiga lantai bisa ambruk hanya dalam sekali guncangan? Dugaan utama adalah kegagalan konstruksi. Jika benar, ini bukan sekadar bencana alamiah, tetapi tragedi akibat kelalaian manusia.
Bangunan lembaga pendidikan seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak-anak. Ketika ia justru menjadi kuburan, tanggung jawab moral dan hukum harus ditegakkan. Jangan sampai peristiwa ini hanya ditangisi tanpa evaluasi mendalam.
Refleksi akhirnya jelas: setiap reruntuhan adalah pesan agar kita membangun ulang, bukan hanya gedung, tetapi juga kesadaran. Kesadaran bahwa nyawa anak-anak jauh lebih mahal daripada biaya pembangunan yang dipangkas.
Penutup: Harapan yang Tidak Runtuh
“Setiap tragedi adalah guru yang keras, tetapi adil.” Dari reruntuhan Ponpes Al Khoziny, kita belajar tentang iman seorang santri kecil, dedikasi penyelamat, hingga rapuhnya sistem pengawasan bangunan kita. Semua itu bukan untuk ditangisi semata, melainkan untuk dijadikan pelajaran nasional.