Pertamina dan Dilema Kilang Minyak Baru: Malas atau Strategis?
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menghadapi tantangan, bukan menundanya."
Oleh Karnita
Sebuah Panggilan dari APBN Kita
Mengapa Pertamina masih belum membangun kilang minyak baru setelah puluhan tahun, meski impor BBM terus menguras kas negara? Pertanyaan ini kembali menggema setelah pemberitaan Kompas.com pada 30 September 2025 dengan judul “Bertahun-tahun Pertamina Tak Bangun Kilang Minyak Baru, Purbaya: Malas-malasan Saja!”. Pernyataan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa ini menyentak publik karena menyentuh jantung masalah energi nasional yang sudah berulang kali menjadi sorotan.
Di tengah urgensi pengurangan impor BBM, fakta ini kian relevan dengan kondisi APBN 2025 yang masih harus menanggung subsidi energi hingga Rp498,8 triliun. Bukan sekadar angka, tetapi konsekuensi nyata dari ketergantungan kita terhadap pasokan luar negeri yang rentan pada fluktuasi harga global. Kas negara pun tersedot, padahal pembangunan kilang dalam negeri bisa menjadi solusi jangka panjang.
Sebagai penulis, isu ini menarik bukan semata karena kritik Purbaya, melainkan karena menyangkut masa depan kemandirian energi kita. Pertamina sebagai BUMN strategis seharusnya berdiri di garis depan, bukan justru dicitrakan "malas-malasan". Inilah panggilan untuk meninjau kembali komitmen, keberanian, dan arah kebijakan energi nasional kita.
Janji Tujuh Kilang yang Tak Kunjung Jadi
Pada 2018, Pertamina pernah menjanjikan pembangunan tujuh kilang baru dalam lima tahun. Janji tersebut kala itu disambut harapan besar, namun tujuh tahun kemudian satupun belum terwujud. Janji yang tak ditepati justru berbalik menjadi beban moral dan menambah skeptisisme publik terhadap kinerja BUMN energi ini.
Kegagalan merealisasikan janji itu memunculkan pertanyaan mendasar: apakah ini soal kemampuan teknis atau soal niat dan prioritas? Purbaya sendiri menilai bukan persoalan kemampuan, melainkan sikap “malas-malasan”. Kritik ini menjadi sinyal keras, karena datang dari Menteri Keuangan yang setiap tahun harus menutup beban subsidi akibat impor.
Di sinilah terlihat paradoks. Di satu sisi, Pertamina memproyeksikan diri sebagai pemain global dengan visi ambisius. Di sisi lain, kebutuhan paling mendasar—kemandirian kilang dalam negeri—masih diabaikan.