Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pertamina dan Dilema Kilang Minyak Baru: Malas atau Strategis?

2 Oktober 2025   04:58 Diperbarui: 2 Oktober 2025   04:58 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kilang minyak Pertamina RU Dumai.(Dok. Pertamina RU Dumai)

Pertamina dan Dilema Kilang Minyak Baru: Malas atau Strategis?
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menghadapi tantangan, bukan menundanya."

Oleh Karnita

Sebuah Panggilan dari APBN Kita

Mengapa Pertamina masih belum membangun kilang minyak baru setelah puluhan tahun, meski impor BBM terus menguras kas negara? Pertanyaan ini kembali menggema setelah pemberitaan Kompas.com pada 30 September 2025 dengan judul “Bertahun-tahun Pertamina Tak Bangun Kilang Minyak Baru, Purbaya: Malas-malasan Saja!”. Pernyataan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa ini menyentak publik karena menyentuh jantung masalah energi nasional yang sudah berulang kali menjadi sorotan.

Di tengah urgensi pengurangan impor BBM, fakta ini kian relevan dengan kondisi APBN 2025 yang masih harus menanggung subsidi energi hingga Rp498,8 triliun. Bukan sekadar angka, tetapi konsekuensi nyata dari ketergantungan kita terhadap pasokan luar negeri yang rentan pada fluktuasi harga global. Kas negara pun tersedot, padahal pembangunan kilang dalam negeri bisa menjadi solusi jangka panjang.

Sebagai penulis, isu ini menarik bukan semata karena kritik Purbaya, melainkan karena menyangkut masa depan kemandirian energi kita. Pertamina sebagai BUMN strategis seharusnya berdiri di garis depan, bukan justru dicitrakan "malas-malasan". Inilah panggilan untuk meninjau kembali komitmen, keberanian, dan arah kebijakan energi nasional kita.

Janji Tujuh Kilang yang Tak Kunjung Jadi

Pada 2018, Pertamina pernah menjanjikan pembangunan tujuh kilang baru dalam lima tahun. Janji tersebut kala itu disambut harapan besar, namun tujuh tahun kemudian satupun belum terwujud. Janji yang tak ditepati justru berbalik menjadi beban moral dan menambah skeptisisme publik terhadap kinerja BUMN energi ini.

Kegagalan merealisasikan janji itu memunculkan pertanyaan mendasar: apakah ini soal kemampuan teknis atau soal niat dan prioritas? Purbaya sendiri menilai bukan persoalan kemampuan, melainkan sikap “malas-malasan”. Kritik ini menjadi sinyal keras, karena datang dari Menteri Keuangan yang setiap tahun harus menutup beban subsidi akibat impor.

Di sinilah terlihat paradoks. Di satu sisi, Pertamina memproyeksikan diri sebagai pemain global dengan visi ambisius. Di sisi lain, kebutuhan paling mendasar—kemandirian kilang dalam negeri—masih diabaikan.

Tawaran Investor Asing yang Dilewatkan

Menariknya, pernah ada tawaran dari investor asal China untuk membangun kilang dengan skema kepemilikan jangka panjang. Pertamina hanya diminta membeli produk mereka selama 30 tahun pertama, sebelum kilang beralih kepemilikan. Tawaran ini, meski penuh pro-kontra, setidaknya memberikan opsi nyata di tengah stagnasi pembangunan.

Namun, tawaran itu ditolak dengan alasan Pertamina sudah merencanakan pembangunan kilangnya sendiri. Ironisnya, janji internal tersebut justru tak berjalan hingga kini. Ini menimbulkan kesan bahwa Pertamina memilih menunda realisasi tanpa solusi alternatif yang jelas.

Bagi publik, hal ini semakin memperkuat stigma bahwa perusahaan energi negara tidak gesit merespons peluang strategis. Padahal, dengan posisi keuangan dan dukungan pemerintah, seharusnya keputusan semacam ini bisa ditimbang lebih cerdas, bukan ditinggalkan begitu saja.

Beban Subsidi yang Membengkak

Data APBN 2025 menunjukkan bahwa subsidi energi telah menembus ratusan triliun rupiah. Angka tersebut tak hanya membebani kas negara, tetapi juga mengurangi ruang fiskal untuk sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan. Setiap kali kilang baru tak jadi dibangun, negara dipaksa menambah beban impor yang berujung pada subsidi.

Di sini terlihat jelas lingkaran masalah: Pertamina menunda pembangunan kilang, negara menanggung subsidi lebih besar, dan publik menjadi korban karena anggaran sosial berkurang. Kritik Purbaya seakan mewakili suara rakyat yang jenuh dengan alasan berulang. Kemandirian energi bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan nyata bagi keberlanjutan pembangunan.

Refleksi dari fakta ini seharusnya memicu kesadaran kolektif bahwa menunda pembangunan kilang sama saja dengan memperpanjang ketergantungan. Apalagi, dengan meningkatnya konsumsi BBM, LPG, dan listrik bersubsidi, beban negara hanya akan semakin menumpuk.

DPR dan Publik Harus Mengawal

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa setelah melakukan konferensi pers APBN KiTa di kantornya, Jakarta, Senin (22/9/2025).(KOMPAS.com/ISNA R. S. R.)
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa setelah melakukan konferensi pers APBN KiTa di kantornya, Jakarta, Senin (22/9/2025).(KOMPAS.com/ISNA R. S. R.)

Purbaya meminta DPR untuk ikut mengawasi rencana pembangunan kilang. Seruan ini penting karena tanpa kontrol ketat, janji Pertamina bisa kembali terperangkap dalam retorika. DPR sebagai wakil rakyat memiliki kewenangan untuk menagih akuntabilitas dan mendorong percepatan.

Namun, pengawalan tak cukup hanya datang dari DPR. Publik, akademisi, dan media juga harus berperan sebagai penjaga moral dalam isu strategis ini. Energi bukan hanya soal teknis bisnis, tetapi menyangkut hak rakyat atas harga BBM yang adil dan stabil. Transparansi menjadi kata kunci agar isu ini tidak kembali tenggelam dalam laporan tahunan.

Jika kita hanya menunggu, maka lingkaran masalah ini akan terus berputar. Justru dengan tekanan publik dan pengawasan DPR, ada peluang untuk menggeser kebijakan Pertamina menuju realisasi nyata, bukan sekadar janji manis.

Refleksi Akhir: Energi, Janji, dan Tanggung Jawab

Kita harus bertanya: sampai kapan bangsa ini akan membiarkan Pertamina berlarut dalam janji yang tak ditepati? Kemandirian energi adalah syarat mutlak bagi pembangunan berkelanjutan, bukan sekadar pilihan. Kritik Purbaya seharusnya dijadikan momentum untuk menggugah kesadaran kolektif, bukan dilihat sebagai sekadar serangan politik.

Bangsa besar tak boleh menyerah pada pola pikir menunda dan malas-malasan. Justru di sinilah saatnya Pertamina membuktikan diri bahwa ia layak disebut “pilar energi nasional”. Seperti kata Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menghadapi tantangan, bukan menundanya.” Mari kita kawal janji energi ini bersama-sama. Wallahu a'lam

Disclaimer

Tulisan ini merupakan opini penulis yang disusun berdasarkan pemberitaan di media arus utama. Tidak dimaksudkan untuk menyerang pribadi maupun institusi tertentu.

Daftar Pustaka

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun