Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bumi Ini Sudah Cantik, Tugas Kita Mempercantiknya!

27 September 2025   15:30 Diperbarui: 27 September 2025   15:30 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama CMC Tiga Warna, Lia tidak sekadar menghijaukan pesisir, tetapi juga mendidik masyarakat luas . (Lia Putrinda Anggawa Mukti) 

Bumi Ini Sudah Cantik, Tugas Kita Mempercantiknya!

“Jangan tunggu bencana alam terjadi. Jangan tunggu oksigen harus bayar. Jangan tunggu napasmu terhenti baru peduli.”Lia Putrinda Anggawa Mukti

Oleh Karnita

Sore di Pesisir Gersang: Awal Kisah Lia

Pernahkah Anda menatap hamparan pasir panas tanpa teduh dan bertanya-tanya, “Dulu di sini tumbuh apa ya?” Pada 12 September 2025, Kompas.com menayangkan kisah Lia Putrinda Anggawa Mukti, perempuan yang menjadikan hamparan pesisir Malang sebagai laboratorium hidup konservasi. Kisah ini relevan, karena degradasi pesisir tak hanya mengancam alam, tapi juga kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Mengapa saya tertarik menulis ulang kisah Lia? Karena sejak SD hingga SMA, ia memilih tetap berkarya di kampung halaman, menekuni konservasi mangrove, bukan sekadar mengejar gemerlap kota. Transformasi pesisir gersang menjadi hutan hijau rimbun kini nyata di hadapan kita. Ia membuktikan bahwa langkah kecil dan konsisten bisa menumbuhkan perubahan besar.

Urgensi kisah ini lebih dari soal ekologi: ini soal perempuan, komunitas, dan pendidikan lingkungan. Lia mengajak masyarakat untuk ikut menjaga alam, sekaligus membangun kesadaran kolektif. Dari pengalaman ini kita belajar, perubahan bisa lahir dari ketekunan, keberanian, dan aksi nyata, meski dimulai dari desa sendiri.

Pasir Panas dan Pertanyaan Lugu

Di tahun 2004, bocah 12 tahun bernama Lia berjalan menyusuri pantai Desa Tambak Rejo. Hamparan pasir panas membentang, nyaris tanpa teduh, sementara ayahnya mengenang hutan mangrove yang dulu rimbun. “Kok aku enggak bisa lihat hutan mangrove yang ayah ceritakan?” tanyanya dalam hati. Momen itu menyalakan passion konservasi yang akan menjadi identitasnya.

Keputusan Lia untuk tetap tinggal di desa bukan tanpa cibiran. Banyak warga skeptis, menganggap perempuan muda tak bisa memimpin perubahan. Namun, Lia memilih aksi nyata dibanding kata-kata, dan lama-lama warga ikut terlibat. Strategi ini membuktikan, aksi kecil tapi konsisten lebih ampuh daripada kritik panjang lebar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun