Purbaya Tolak Tax Amnesty, Jangan Insentifkan Orang Kibul-Kibul!
“Keadilan pajak bukan soal keringanan, melainkan soal kepercayaan.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Apakah pengampunan pajak bisa menjadi solusi berulang untuk menyelamatkan penerimaan negara? Pertanyaan ini mencuat usai pernyataan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa pada Jumat, 19 September 2025, yang menolak rencana tax amnesty jilid III sebagaimana dilaporkan Kompas.com (20/09/2025). Polemik ini semakin relevan di tengah kondisi ekonomi nasional yang menuntut penerimaan negara stabil.
Mengapa isu ini penting bagi publik? Sejak 2016 hingga 2022, Indonesia sudah dua kali menjalankan kebijakan serupa di era Sri Mulyani. Kini, rencana pengulangan lewat Prolegnas 2025 justru memantik kritik karena dianggap mencederai keadilan fiskal dan budaya kepatuhan pajak. Bagi penulis, topik ini menarik karena membuka ruang refleksi tentang etika, keberlanjutan, dan kredibilitas kebijakan fiskal.
Apa dampaknya bila pemerintah terus mengandalkan tax amnesty? Menurut Purbaya, kebijakan yang dijalankan berulang kali justru melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Urgensinya jelas: tanpa kepatuhan pajak, fondasi fiskal akan rapuh, sementara reformasi perpajakan yang selama ini digagas bisa runtuh oleh sinyal salah arah.
Tax Amnesty: Kebijakan Lama, Polemik Baru
Tax amnesty bukanlah kebijakan baru dalam sejarah perpajakan Indonesia. Sejak 1964 hingga 2022, pemerintah sudah lima kali menggelarnya, dengan tujuan menarik dana tersembunyi serta memperkuat basis data pajak. Namun efektivitasnya selalu menjadi bahan perdebatan, terutama terkait dampak jangka panjang terhadap kepatuhan.
Purbaya menilai, pengulangan tax amnesty hanya memberi ruang pada wajib pajak untuk “bermain aman.” Mereka akan memilih menunda kewajiban, dengan harapan pemerintah kelak kembali memberi pengampunan. Kritik ini memperlihatkan betapa kebijakan fiskal tidak bisa semata dipandang dari aspek penerimaan jangka pendek.