Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Kesepian Bisa Menekan Satu Keluarga?

2 September 2025   19:25 Diperbarui: 2 September 2025   19:25 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polisi temukan lima anggota keluarga tewas terkubur satu lubang di rumah Indramayu, 2/9/2025. Foto: Lilis Sri Handayani/Republika 

Mengapa Kesepian Bisa Menelan Satu Keluarga?

"Kesunyian yang terlupakan bisa berbicara lebih keras daripada jeritan."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Apa yang terbayang ketika mendengar satu keluarga terkubur dalam satu lubang di rumahnya sendiri? Peristiwa itu terjadi di Jalan Siliwangi Nomor 52, Indramayu, dan diberitakan Republika (2/9/2025) dengan judul “Lima Orang Sekeluarga Terkubur Satu Lubang di Rumah, Kucing Korban Seperti Minta Tolong Tetangga.” Fakta ini menggedor kesadaran kita tentang rapuhnya ikatan sosial di tengah masyarakat yang semakin individualis.

Mengapa kasus ini terasa begitu relevan? Karena ia terjadi bukan di hutan rimba, melainkan di tengah pemukiman yang padat, di mana seharusnya interaksi sosial mampu mendeteksi tanda-tanda keganjilan. Namun, keluarga korban dikenal tertutup, jarang bersosialisasi, hingga akhirnya tragedi baru terungkap lewat tanda-tanda tak biasa: seekor kucing mengeong seperti meminta pertolongan. Cerita ini lebih dari sekadar kriminalitas, ia menguak persoalan keterasingan sosial.

Alasan penulis tertarik membahasnya karena kasus ini bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga refleksi sosial. Bagaimana mungkin di zaman teknologi, media sosial, dan keterhubungan instan, satu keluarga bisa “menghilang” tanpa ada yang menyadarinya? Tragedi Indramayu menjadi alarm keras bagi masyarakat modern agar tak terjebak dalam keterasingan di balik dinding rumah masing-masing.

1. Sunyi yang Menjadi Petaka

Keluarga Sahroni dikenal jarang bergaul dengan tetangga, bahkan sekadar basa-basi sehari-hari nyaris tak dilakukan. Keakraban sosial yang seharusnya menjadi benteng utama di lingkungan, justru tak terbentuk. Kesunyian yang berulang inilah yang kemudian menjadi latar tak terlihat dari tragedi memilukan. Ketika kehidupan terlalu sunyi, tanda bahaya pun sering terlewatkan.

Fenomena keluarga tertutup ini sesungguhnya bukan hal baru di masyarakat urban maupun semi-urban. Kesibukan, privasi, hingga rasa tidak ingin repot menjadi alasan klasik yang kerap dijadikan tameng. Namun, tragedi Indramayu memperlihatkan risiko besar dari pola hidup yang terlalu menyendiri. Relasi sosial bukan sekadar basa-basi, melainkan kebutuhan untuk menjaga kewaspadaan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun