Siapa Mengendalikan Roda Hukum di Jalan Senayan?
"Hukum seharusnya menjadi rem, bukan gas yang membunuh."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Jakarta pada Kamis malam, 28 Agustus 2025, menjadi saksi tragedi memilukan ketika sebuah mobil rantis Brimob melindas Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, di tengah kerumunan demonstran. Peristiwa ini diberitakan secara rinci oleh Pikiran-Rakyat.com (29 Agustus 2025) dalam artikel berjudul "Kompol C dan 6 Anggota Brimob Kendalikan Mobil Rantis yang Tewaskan Affan Kurniawan" karya M Bayu Pratama. Liputan tersebut menyajikan kronologi yang hidup, disertai pengakuan pejabat kepolisian, sekaligus mengingatkan publik pada urgensi reformasi institusi.
Ketertarikan penulis untuk menelaah lebih jauh berasal dari gelombang emosi publik yang meluas, baik di jalanan maupun media sosial. Permintaan maaf Kapolri memang menyentuh, namun menyisakan pertanyaan mendasar: apakah keadilan akan ditegakkan dengan tuntas, atau kembali terjebak pada pola klasik permintaan maaf tanpa pembaruan sistemik. Artikel ini patut diapresiasi karena berani menyajikan data dan suara resmi, namun di saat bersamaan membuka ruang refleksi bagi masyarakat sipil.
Relevansi topik ini sangat nyata dalam konteks demokrasi Indonesia hari ini. Insiden Senayan bukan sekadar persoalan lalu lintas pengamanan massa, melainkan simbol rapuhnya relasi antara aparat dan rakyat yang mereka janjikan untuk lindungi. Dari sini kita dapat merenungkan: sampai kapan hukum menjadi tumpul ke atas, namun tajam ke bawah?
Luka Senayan dan Gelombang Amarah Publik
Tragedi di depan DPR menjadi titik balik hubungan publik dengan institusi kepolisian. Kehadiran mobil rantis yang seharusnya menjaga ketertiban justru merenggut nyawa seorang warga sipil. Adegan dramatis pengejaran oleh massa hingga Casablanca menandakan betapa kuatnya kemarahan rakyat terhadap aparatur negara.
Amarah publik yang membuncah tidak lepas dari rasa kehilangan kepercayaan. Saat aparat dianggap tidak lagi menjadi pelindung, rakyat secara instingtif merespons dengan perlawanan moral. Bukan sekadar aksi spontan, namun refleksi kolektif terhadap akumulasi ketidakadilan yang dirasakan sebelumnya.