Menjaga Bahasa Ibu di Tengah Arus Globalisasi
"Bahasa adalah jiwa budaya; kehilangan bahasa berarti kehilangan jati diri."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Aula Mandala Saba Dr. Djundjunan, Gedung Paguyuban Pasundan, Kota Bandung, pada Rabu (13/8/2025), menjadi saksi penganugerahan Hadiah Sastera Rancagé 2025. Pikiran Rakyat memuat kabar bahwa Hidayat Soesanto meraih penghargaan kategori sastra Sunda melalui kumpulan cerpen Anggota Déwan Ngagantung Manéh. Ajang ini juga menghadirkan penghargaan bagi penulis dari berbagai bahasa daerah lain di Indonesia.
Di tengah laju globalisasi, keberadaan karya sastra berbahasa daerah kian penting sebagai penopang identitas budaya. Hadiah Sastera Rancagé menjadi salah satu wadah yang mendorong pelestarian bahasa ibu. Isu ini menjadi relevan mengingat ancaman dominasi bahasa asing yang dapat mengikis kebanggaan berbahasa daerah.
Penulis tertarik menyoroti penganugerahan ini karena memadukan dua hal: kualitas karya sastra dan misi pelestarian bahasa. Penghargaan ini bukan sekadar selebrasi literasi, tetapi juga pengingat bahwa bahasa adalah aset yang harus diwariskan. Apalagi, formatnya mulai menyesuaikan zaman dengan membuka kemungkinan publikasi digital.
1. Anggota Déwan Ngagantung Manéh: Cerita di Balik Berita
Kumpulan cerpen karya Hidayat Soesanto ini dibagi menjadi dua bagian, yang pertama menyoroti dunia politisi. Cerita-cerita di bagian ini memadukan fakta dan imajinasi sehingga menjadi “cerita di balik berita” yang reflektif. Pembaca dapat merasakan kritik sosial yang cerdas melalui tokoh-tokoh yang merepresentasikan kekuasaan.
Pesan yang tersampaikan tidak hanya menyindir perilaku elite, tetapi juga menggugah kesadaran warga tentang konsekuensi politik. Bahasa Sunda yang digunakan memperkuat rasa keterhubungan dengan pembaca lokal. Kekuatan struktur dan ketepatan bahasa membuat karya ini kokoh secara sastra.