Kritiknya, selama ini pendidikan formal di Indonesia jarang memasukkan materi kedirgantaraan dalam kurikulum umum. Akibatnya, pengetahuan anak-anak tentang ruang udara hanya sebatas pada pelajaran sains atau geografi yang dangkal. Ini membuat kesadaran strategis sulit berkembang secara alami.
Refleksinya, membangun literasi kedirgantaraan berarti menyiapkan generasi yang tidak hanya mengagumi pesawat terbang, tetapi juga memahami makna kedaulatan udara dan pentingnya inovasi di bidang ini.
2. Peran Buku dalam Menumbuhkan Minat Baca Kedirgantaraan
Pameran buku karya Chappy Hakim menjadi salah satu contoh nyata bagaimana media literasi dapat memantik ketertarikan generasi muda pada topik yang jarang diangkat. Lebih dari 50 judul buku yang dipamerkan menampilkan ragam perspektif, mulai dari sejarah penerbangan Indonesia hingga strategi mempertahankan kedaulatan udara.
Pesannya jelas: literasi tematik mampu menjembatani minat baca dengan isu nasional. Ketika anak-anak menemukan bacaan yang sesuai minatnya, mereka akan lebih mudah terlibat dan mempelajari hal-hal baru.
Kritiknya, koleksi buku kedirgantaraan masih sangat terbatas di sekolah dan perpustakaan daerah. Padahal, dengan format yang menarik dan bahasa yang sesuai usia, literasi kedirgantaraan dapat menjadi bagian dari pendidikan karakter dan kebangsaan.
Refleksinya, buku-buku ini bukan sekadar bacaan teknis, melainkan pintu masuk menuju pemahaman yang lebih luas tentang teknologi, sejarah, dan peran bangsa dalam percaturan udara internasional.
3. Rendahnya Budaya Baca dan Tantangannya
Data yang disampaikan Kepala Perpustakaan Nasional RI, Aminudin Aziz, cukup mengkhawatirkan. Budaya baca masyarakat Indonesia tercatat hanya 129 jam per tahun, atau setara lima setengah hari. Rata-rata buku yang dibaca pun tidak sampai enam judul per tahun.
Pesannya, rendahnya angka ini menjadi pengingat bahwa literasi tematik seperti kedirgantaraan akan sulit berkembang tanpa upaya kolektif untuk meningkatkan minat baca secara umum. Ketersediaan bacaan yang relevan adalah salah satu kuncinya.
Kritiknya, sering kali buku yang tersedia di pasaran tidak sesuai dengan minat pembaca muda. Ini membuat mereka lebih memilih konten digital ringan ketimbang membaca buku fisik yang padat.