Refleksi penting yang muncul adalah bagaimana konsep perencanaan kota yang inklusif dan berkelanjutan harus mengakomodasi kebutuhan ruang hidup sehat, terutama bagi komunitas berpenghasilan rendah yang sering kali terpinggirkan oleh arus pembangunan perkotaan.
2. Hidup di Bawah Rel Kereta: Antara Kebisingan dan Adaptasi Sosial
Warga Kampung Tongkol hidup berdampingan dengan rel kereta api aktif yang membelah permukiman mereka. Getaran dan suara bising kereta sudah menjadi latar kehidupan sehari-hari, yang sebenarnya merupakan ancaman bagi kenyamanan dan keselamatan.
Namun, masyarakat menunjukkan tingkat adaptasi sosial yang tinggi. Mereka saling membantu dan menjalin solidaritas dalam menghadapi tantangan tersebut. Kebersamaan ini menjadi modal sosial yang berharga dalam menghadapi risiko lingkungan dan keterbatasan infrastruktur.
Kritik sosial muncul pada kebijakan tata ruang yang membiarkan pemukiman rawan ini berkembang tanpa intervensi pengamanan yang memadai, menunjukkan perlunya perlindungan dan perhatian serius dari pemerintah dalam mengelola kawasan semacam ini.
3. Sengketa dan Ketidakjelasan Hak Atas Tanah
Salah satu isu utama di Kampung Tongkol adalah ketidakjelasan status kepemilikan tanah. Lahan yang ditempati merupakan aset PT Kereta Api Indonesia (KAI), sehingga warga hanya memiliki hak atas bangunan, bukan tanahnya. Praktik jual-beli bangunan tanpa sertifikat pun marak terjadi, sering kali tanpa sepengetahuan aparat RT.
Ketidakpastian hak ini menyebabkan munculnya konflik sengketa, termasuk masalah warisan dan kepemilikan ganda, yang memperumit kehidupan sosial dan ekonomi warga. Situasi ini mencerminkan masalah klasik di kawasan informal perkotaan Indonesia.
Pesan pentingnya adalah kebutuhan perbaikan regulasi dan pendekatan partisipatif dalam penyelesaian hak atas tanah, agar warga mendapat kepastian hukum dan perlindungan yang layak tanpa harus kehilangan tempat tinggal.
4. Transformasi Permukiman: Dari Bedeng Sederhana ke Rumah Permanen
Awalnya, bangunan di Kampung Tongkol hanya berupa bedeng atau ruang berteduh seadanya tanpa fasilitas dasar seperti dapur dan kamar mandi. Namun, seiring waktu, warga memperbaiki dan memperluas rumah mereka menjadi hunian permanen yang lebih layak.