Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Autisme Bukan Penyakit, Membuka Jalan Adaptasi Lewat Pendampingan Empati

9 Agustus 2025   09:54 Diperbarui: 9 Agustus 2025   09:54 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru mengajar siswa berkebutuhan khusus di MI Ma’arif Ungaran dalam program sekolah inklusi. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra) 

Guru mengajar siswa berkebutuhan khusus di MI Ma’arif Ungaran dalam program sekolah inklusi. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra) 
Guru mengajar siswa berkebutuhan khusus di MI Ma’arif Ungaran dalam program sekolah inklusi. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra) 

Pendekatan terapi yang beragam dan disesuaikan dengan spektrum autisme sangat krusial. Vitriani menguraikan terapi wicara, terapi sensorik, dan terapi perilaku sebagai tiga jenis utama yang dapat diikuti anak sesuai kebutuhan. Terapi wicara membantu anak memproduksi dan memahami bahasa, terapi sensorik mengatasi sensitivitas terhadap rangsangan, dan terapi perilaku menanamkan kebiasaan serta aturan.

Pesan pentingnya adalah tidak ada satu metode tunggal yang cocok untuk semua anak autistik, sehingga personalisasi terapi menjadi kunci adaptasi yang berhasil. Kritik mengarah pada kurangnya pelatihan dan sumber daya untuk menyediakan terapi yang memadai di berbagai daerah. Refleksi dari ini menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas tenaga terapi dan akses layanan yang merata.

5. Menguatkan Pemahaman Masyarakat untuk Inklusi Berkelanjutan

Penerimaan dan dukungan masyarakat menjadi fondasi penting dalam menciptakan inklusi yang sesungguhnya. Masyarakat yang memahami autisme sebagai kondisi yang melekat seumur hidup akan lebih mampu mendukung anak dan keluarga mereka. Edukasi publik harus terus digalakkan untuk menghapus stigma dan membuka ruang bagi adaptasi yang inklusif.

Pesan dari hal ini adalah pentingnya peran media, sekolah, dan lembaga sosial dalam menyebarluaskan informasi yang benar dan membangun empati. Kritik muncul pada masih kuatnya stereotip dan miskonsepsi yang beredar luas. Refleksi atas dinamika sosial ini menuntut komitmen bersama untuk mewujudkan masyarakat yang ramah dan suportif bagi semua anak, tanpa kecuali.

Penutup

Memahami autisme bukan sebagai penyakit tetapi sebagai sebuah kondisi yang membutuhkan pendampingan adaptif adalah langkah awal menuju inklusi sejati. Sebagaimana dikatakan Vitriani Sumarlis, “Autisme adalah bagian dari keberagaman manusia yang harus dihargai dan didukung, bukan dikucilkan.” Pendampingan yang konsisten dan kolaboratif membuka peluang anak autistik untuk tumbuh dan berkembang optimal di lingkungan yang suportif.

Kita semua memiliki peran dalam membangun ekosistem inklusif yang melibatkan keluarga, sekolah, terapis, dan masyarakat luas. Dengan pemahaman yang tepat dan tindakan nyata, kita dapat memastikan bahwa setiap anak dengan autisme mendapatkan hak dan kesempatan yang setara untuk berkembang, berkontribusi, dan merasa diterima.

“Pendampingan yang baik adalah kunci membuka potensi tersembunyi anak autistik, bukan upaya untuk mengubah siapa mereka.”
— Vitriani Sumarlis

Disclaimer

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun