Jalan yang Tak Kunjung Terbentang: Flyover Cimareme dan Janji yang Terlalu Lama Tertunda
"Flyover bukan sekadar jalan layang, tapi janji untuk membebaskan rakyat dari kemacetan yang mengekang hidup sehari-hari."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Kemacetan di pertigaan Cimareme--Padalarang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), tak ubahnya nadi lalu lintas yang tersumbat. Sejak 2009, harapan warga akan flyover yang menjanjikan kelancaran hanyalah cerita yang tak pernah selesai. Pada 1 Agustus 2025, Pikiran Rakyat merilis artikel berjudul "Flyover Cimareme Mangkrak Sejak 2009, Dinas PUTR KBB Tawarkan Solusi Alternatif", ditulis oleh Deni Supriatna dan disunting Rahmi Nurfajriani.
Tulisan tersebut dengan lugas menggambarkan persoalan teknis, anggaran, hingga konflik kewenangan yang membuat proyek vital ini mangkrak. Penulis patut diapresiasi karena berhasil menyampaikan akar masalah dengan data faktual dan pendekatan kebijakan yang gamblang. Ketertarikan saya terletak pada betapa proyek infrastruktur sering kali terjebak di antara semangat politik, kelambanan birokrasi, dan kepasifan publik.
Di tengah arus pembangunan nasional yang digadang-gadang progresif, kasus Cimareme ini menguak wajah klasik kegagalan tata kelola. Bukan semata proyek yang mangkrak, tapi juga ujian kepercayaan publik terhadap janji-janji pembangunan. Artikel ini relevan karena menyentuh dimensi publik yang lebih luas: hak atas ruang gerak, waktu, dan kelayakan hidup.
1. Infrastruktur Tak Kunjung Nyata: Simbol Krisis Kepemimpinan Lokal
Sejak pertama dirancang pada 2009, Flyover Cimareme seharusnya menjadi solusi strategis. Namun hampir dua dekade kemudian, hanya tapal batas dan janji yang tersisa. Proses pembebasan lahan sejak 2016 pun stagnan dengan anggaran yang minim.
Dinas PUTR menyebut angka Rp7,9 miliar dari Pemprov Jabar hanya mampu membebaskan lahan secara sporadis. Padahal kebutuhan total pembebasan mencapai Rp40 miliar---angka yang jauh dari jangkauan APBD KBB. Ketimpangan antara kebutuhan dan kapasitas fiskal inilah yang menjadi akar kemacetan pembangunan.
Situasi ini menunjukkan lemahnya koordinasi antarlembaga dan rendahnya prioritas politik terhadap infrastruktur publik. Pemerintah daerah seakan menjadi penonton pasif atas proyek yang seharusnya menyangkut hajat hidup warga. Refleksi besarnya adalah: infrastruktur bukan hanya soal beton dan dana, tapi kepemimpinan yang punya daya dorong konsisten.