Ketika Hujan Turun di Kemarau: Mengurai Anomali Iklim dan Mitigasi yang Belum Satu Arah
"Cuaca tidak sedang berubah; kita yang sedang terlambat berubah menghadapi cuaca."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Langit mendung menyelimuti Seluma, Bengkulu, meski kalender menunjukkan puncak kemarau. Hujan deras mengguyur semalaman, merendam rumah-rumah warga dan merobohkan jembatan gantung. Sementara itu, angin kencang memorak-porandakan puluhan rumah di Rembang, Jawa Tengah. Cuaca ekstrem ini tak lagi mengikuti pakem musiman: musim kemarau tak menjamin kering, musim hujan tak selalu basah.
Jumat, 1 Agustus 2025, Republika merilis laporan berjudul “BNPB: Banjir dan Angin Kencang Saat Kemarau, Waspadai Anomali Cuaca.” Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyebut rangkaian peristiwa tersebut sebagai gejala anomali cuaca yang harus diwaspadai. Dari Bengkulu hingga Jawa Tengah, musim telah kehilangan presisinya sebagai petunjuk alam yang bisa diandalkan.
Penulis tertarik membedah isu ini karena anomali iklim tak lagi sekadar wacana ilmiah, melainkan kenyataan yang dirasakan langsung masyarakat. Cuaca tak menentu merusak hunian, infrastruktur, bahkan kestabilan sosial. Di sisi lain, informasi kebencanaan belum menjangkau semua lapisan secara efektif. Maka, artikel ini menyoroti lima isu krusial: dari ketidaksiapan struktural, bias persepsi, kegagapan mitigasi, hingga urgensi edukasi iklim di level lokal.
1. Kemarau Tak Lagi Kering: Menakar Pola Cuaca Baru
Cuaca ekstrem berupa hujan deras di tengah kemarau menandai fase baru dalam siklus iklim Indonesia. Fenomena banjir di Seluma, Bengkulu, serta Ogan Komering Ulu terjadi bukan karena musim hujan datang lebih cepat, melainkan karena ketidakstabilan atmosfer akibat gangguan suhu permukaan laut, perubahan pola angin, dan pemanasan global. Istilah hidrometeorologi basah di musim kering adalah sinyal kuat bahwa kita tak bisa lagi berpegang pada kalender iklim klasik.
Pergeseran pola ini menjadi tantangan bagi sistem peringatan dini yang masih didesain untuk menghadapi pola musiman lama. Alih-alih bersifat prediktif dan preventif, banyak daerah masih bersikap reaktif—baru bergerak saat air sudah merendam rumah. BNPB dan BMKG memang telah meningkatkan kapasitas deteksi dini, namun seringkali peringatan itu tidak dikontekstualisasikan secara efektif ke dalam SOP daerah.
Refleksinya, adaptasi iklim perlu menjadi bagian integral dari perencanaan pembangunan. Penganggaran daerah mesti menyertakan variabel iklim ekstrem, bukan hanya saat terjadi bencana, tetapi sebagai bagian dari kebijakan jangka panjang yang menyentuh ruang tata kota, drainase, dan pendidikan kebencanaan.