Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Syukron Terakhir Amir" -- 12 Kilometer, Remah Roti, dan Peluru di Dada Nurani

1 Agustus 2025   08:31 Diperbarui: 1 Agustus 2025   08:31 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aguilar, sebagai mantan tentara profesional, menyebut insiden ini sebagai kejahatan perang. Ia menegaskan bahwa IDF (Israel Defense Forces) menembaki kerumunan tanpa peringatan, menyebabkan puluhan orang terluka dan beberapa tewas, termasuk Amir.

Sayangnya, investigasi internasional atas kejahatan ini sering kali terbentur politik veto dan ketimpangan kekuasaan. Namun, kesaksian Aguilar dan bukti visual seharusnya cukup kuat untuk mendorong ICC (International Criminal Court) memperluas penyelidikan terhadap kejahatan kemanusiaan di Gaza.

5. Kita, Dunia, dan Tanggung Jawab yang Tercecer

Apa yang dialami Amir adalah potret suram dari dunia yang membiarkan ketidakadilan merajalela. Ketika bantuan berubah jadi peluru, dan pelaku kekerasan tetap bebas berkeliaran, maka yang rusak bukan hanya tubuh bocah itu, melainkan nurani umat manusia.

Indonesia sebagai negara yang mengedepankan diplomasi kemanusiaan perlu bersuara lebih lantang, tidak hanya dalam forum PBB, tetapi juga dalam diplomasi bilateral dan penguatan gerakan masyarakat sipil. Sekadar mengutuk tidak cukup—diperlukan aksi nyata: kampanye, tekanan ekonomi, dan advokasi hukum.

Kompasiana dan ruang-ruang menulis publik punya kekuatan membentuk opini kolektif. Mari kita jaga nama Amir dalam ingatan bukan sebagai korban, tapi sebagai pemantik nurani. “Syukran”-nya adalah salam terakhir yang menggugah dunia untuk tidak tinggal diam.

Penutup

Kesaksian Anthony Aguilar dan kisah Amir mengingatkan kita bahwa penderitaan terbesar bukan kelaparan, tetapi saat dunia berhenti peduli. Amir bukan hanya anak Gaza—ia adalah suara dari seluruh anak yang dilucuti hak hidupnya karena sistem yang kejam dan dunia yang bisu.

"Ketika satu anak mati karena kelaparan dan peluru, maka semua pasal HAM telah gugur. Yang tersisa hanyalah pertanyaan: apakah kita masih manusia?"

Disclaimer

Tulisan ini disusun berdasarkan informasi yang dilaporkan media terpercaya dan bersifat opini. Tidak mewakili sikap resmi lembaga mana pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun