Di Balik Sunyi Desa, Ada Harapan yang Disuntikkan: Ketika Dokter Hadir Menjadi Penjaga Garis Hidup
Oleh Karnita
Pendahuluan
Angin sore menyapu lembut lereng perbukitan di pelosok Jawa Barat, sementara seorang ibu muda menenteng bayinya menuju rumah kayu kecil yang kini berubah fungsi menjadi pos layanan kesehatan. Kamis, 31 Juli 2025, Pikiran-Rakyat.com memuat artikel berjudul “Sebanyak 40 Dokter Ditempatkan di Desa Miskin Ekstrim di Jawa Barat”. Di balik laporan itu, terbit sebuah harapan baru dari pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran—sebuah kerja sama untuk menempatkan dokter di desa-desa dengan kategori miskin ekstrem dan akses kesehatan yang sulit.
Sebagai penulis yang aktif memantau isu pembangunan manusia dan kesehatan masyarakat, saya merasa tertarik sekaligus tergerak menulis tentang program ini. Sebab di sinilah kita melihat konvergensi nyata antara kebijakan, pendidikan kedokteran, dan panggilan kemanusiaan. Terlebih, ini bukan sekadar penempatan tenaga kerja, melainkan bentuk rekonstruksi pelayanan primer berbasis keadilan sosial di akar rumput.
Relevansi program ini amat besar dalam konteks ketimpangan pelayanan publik antarwilayah. Ketika sebagian wilayah menikmati rumah sakit lengkap dan tenaga medis spesialis, di tempat lain masyarakat masih mengandalkan dukun beranak dan ramuan tradisional. Penempatan 40 dokter di desa miskin ekstrem bukan sekadar intervensi teknis, melainkan bentuk pengakuan bahwa hak atas kesehatan adalah hak dasar yang tak boleh dikompromikan oleh jarak dan ekonomi.
1. Dari Program ke Kehadiran Nyata: Menjembatani Ketimpangan Kesehatan
Penempatan dokter di desa miskin ekstrem adalah jawaban atas kebutuhan mendesak: kehadiran tenaga medis di wilayah-wilayah yang sering luput dari radar pembangunan. Dalam tahap awal, sebanyak 40 dokter ditugaskan ke desa-desa yang memiliki masalah kesehatan serius dan akses sulit secara geografis. Program ini bukan sekadar penugasan, tetapi juga pendayagunaan pengetahuan dan etika profesi untuk memulihkan martabat masyarakat yang lama terpinggirkan.
Kerja sama antara Pemprov Jabar, 18 pemerintah kabupaten, dan Universitas Padjadjaran menunjukkan bahwa intervensi kesehatan memerlukan kolaborasi lintas sektor. Pemda menyediakan tempat tinggal dan jaminan keamanan; kampus menyuplai tenaga profesional muda yang siap praktik; dan masyarakat menjadi subjek utama dari perubahan. Ini adalah langkah konkret menuju desentralisasi pelayanan kesehatan yang efektif dan adil.
Kritik terhadap program-program kesehatan sebelumnya sering mengarah pada ketidaksinambungan, terutama saat proyek berakhir. Oleh karena itu, penting agar program Dokter Desa tidak berhenti di angka dan seremoni peluncuran. Diperlukan sistem monitoring, dukungan psikososial bagi tenaga medis, dan partisipasi aktif masyarakat agar program ini bukan sekadar tempelan, melainkan transformasi nyata.