Lebih penting lagi, pembangunan infrastruktur semestinya tidak hanya fokus pada fisik, tetapi juga pelayanan. Pelatihan petugas stasiun, standar kebersihan, hingga kenyamanan pengguna adalah bagian dari ekosistem yang harus terus ditingkatkan. Siapa pun bisa membangun rel, tetapi hanya bangsa yang matang yang bisa membangun kepercayaan.
5. Ke Depan: Bukan Lagi Jakarta-Bandung, tapi Visi Jangka Panjang
Proyek Whoosh tak berhenti di rute Jakarta–Bandung. Diskusi telah dimulai mengenai perpanjangan jalur hingga Surabaya. Ini menjadi penentu arah baru apakah Indonesia serius menjadikan kereta cepat sebagai tulang punggung transportasi masa depan.
Namun ekspansi tak boleh mengulang kesalahan. Kajian dampak lingkungan, keterlibatan publik, serta pemetaan ekonomi regional harus menjadi landasan sebelum rel ditarik lebih jauh. Harus ada keberanian untuk tidak hanya cepat secara fisik, tetapi juga matang secara sosial dan ekologis.
“Cepat” bukan sekadar ukuran jarak per jam, tetapi juga bagaimana sebuah bangsa mengambil keputusan besar dengan kehati-hatian. Whoosh bisa menjadi jejak yang diteladani—atau justru pelajaran tentang terburu-buru yang mahal.
Penutup: Teknologi Harus Disertai Kearifan Lokal
Siapa sangka, di balik laju kereta cepat, seekor biawak bisa menghentikan segalanya. Kisah ini bukan sekadar ironi, melainkan pengingat bahwa dalam membangun peradaban modern, kita tak boleh melupakan elemen-elemen yang paling sederhana.
Seperti dikatakan Eva Chairunisa, “Kepercayaan ini menjadi bukti bahwa SDM Indonesia mampu mengoperasikan moda transportasi modern.” Tapi lebih dari itu, Indonesia juga ditantang untuk mengelola infrastruktur besar ini dengan kearifan lokal yang menghormati alam, membina masyarakat, dan menumbuhkan rasa memiliki. Teknologi adalah alat, tetapi kemajuan sejati adalah ketika kita bisa mengendalikannya dengan hati. Wallahu a'lam.
Daftar Pustaka:
Kompas.com. (2025). Tak Lagi dari China, Masinis dan Teknisi Whoosh Kini dari Indonesia. Diakses dari https://travel.kompas.com/read/2025/04/11/173000727