Keamanan Tak Boleh Sekadar Janji: Data Pribadi Adalah Hak, Bukan Komoditas
"Dalam dunia digital, transparansi bukan hanya nilai tambah, melainkan syarat mutlak kepercayaan publik."
Oleh Karnita
Ketegangan Sunyi di Balik Layar Digital
Mata publik Indonesia tertuju pada isu yang menyeruak perlahan namun mengusik rasa aman: kerja sama Indonesia–Amerika Serikat soal keamanan digital. Pada 25 Juli 2025, Pikiran Rakyat memuat berita berjudul "Istana: Tak Ada Penyerahan Data Pribadi ke AS, Hanya Soal Keamanan Platform". Pernyataan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan bahwa tak ada penyerahan data pribadi warga negara kepada AS, melainkan bentuk kerja sama untuk mengamankan proses input data yang dilakukan warga saat mengakses berbagai platform digital. Meski narasi yang dibangun terdengar menenangkan, artikel ini menimbulkan ketertarikan penulis karena justru memunculkan pertanyaan penting: di era digital, siapa yang sebenarnya memegang kendali atas data kita?
Ketertarikan penulis terhadap isu ini berangkat dari urgensi membangun literasi publik terhadap tata kelola data pribadi. Dalam ekosistem digital yang sarat interkoneksi lintas negara dan platform, transparansi bukan sekadar retorika melainkan prasyarat legitimasi. Ketika Istana menyampaikan klarifikasi seperti itu, masyarakat berhak tahu lebih dalam: bentuk kerja samanya seperti apa? Apa yang dimaksud dengan ‘pengamanan platform’? Dan bagaimana keterlibatan pihak asing diatur dalam kerangka hukum nasional?
Di tengah gempuran teknologi dan intervensi algoritma, data pribadi telah menjadi mata uang baru yang sangat bernilai. Maka, menjaga integritas dan kedaulatannya bukanlah urusan teknis semata, melainkan soal kepercayaan publik, etika pemerintahan, serta hak konstitusional warga. Artikel ini mengupas lima sisi penting dari isu kerja sama keamanan digital ini, dan mengajak kita semua untuk tidak sekadar menjadi pengguna teknologi, tapi juga penjaga kedaulatan data.
1. Dari Klarifikasi Istana ke Kewaspadaan Publik
Pernyataan Mensesneg Prasetyo Hadi yang menekankan tidak adanya penyerahan data pribadi kepada AS patut diapresiasi sebagai bentuk keterbukaan. Namun, publik perlu menggali lebih dalam konteks dan rincian kerja sama tersebut. Apakah kerja sama ini menyangkut penguatan enkripsi, audit keamanan sistem, atau interoperabilitas lintas server? Ketika informasi masih bersifat umum, celah spekulasi tetap terbuka.
Kekhawatiran masyarakat bukan tanpa dasar. Dalam sejarah digital global, kerja sama keamanan kerap menjadi titik masuk pengawasan massal atau data mining terselubung. Tanpa spesifikasi teknis dan kejelasan kerangka hukum yang dijadikan dasar kerja sama, penolakan publik akan menjadi respons wajar yang perlu ditanggapi dengan kebijakan yang lebih komunikatif dan transparan.
Refleksi dari klarifikasi Istana ini adalah pentingnya kejelasan narasi komunikasi publik. Negara tak bisa lagi mengandalkan imbauan “jangan khawatir” tanpa transparansi data dan proses. Kepercayaan bukan dibangun dari instruksi, melainkan dari akses informasi yang jujur dan kredibel.
2. UU PDP: Payung yang Masih Basah
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) memang telah disahkan dan menjadi tonggak penting dalam perlindungan data digital di Indonesia. Namun, UU ini masih dalam tahap implementasi dan memerlukan banyak peraturan turunan, serta lembaga pengawasan yang independen dan kuat. Dalam konteks kerja sama dengan negara lain, posisi UU PDP harus menjadi garda depan, bukan sekadar tameng retoris.
Kekuatan UU PDP akan diuji dalam situasi seperti ini: apakah pemerintah wajib menginformasikan kepada publik setiap kerja sama lintas negara yang menyangkut data? Apakah ada prosedur audit bersama yang menjamin tidak terjadi penyalahgunaan data oleh pihak asing? Jika tidak, maka UU PDP bisa menjadi semacam simbol hukum yang belum terimplementasi secara substantif.
UU ini seharusnya menjadi standar etik dan hukum yang tidak bisa ditawar dalam kerja sama internasional. Artinya, pemerintah berkewajiban mengekspresikan posisi hukum Indonesia secara tegas: tidak ada data pribadi yang bisa diproses, dianalisis, apalagi diekspor tanpa persetujuan eksplisit warga negara yang bersangkutan.
3. Platform Digital: Medan Tarik Ulur Kedaulatan
Prasetyo menyebut bahwa data yang dikirim warga ketika menggunakan platform seperti email adalah bagian dari interaksi digital yang lazim. Namun, jika kerja sama ini bertujuan mengamankan “platform-platform” tersebut, maka harus dijelaskan: platform siapa yang dimaksud? Apakah platform asing, atau layanan nasional yang dibantu oleh mitra internasional?
Kenyataannya, sebagian besar platform yang digunakan warga Indonesia merupakan produk luar negeri dengan pusat data dan sistem kendali berada di luar yurisdiksi Indonesia. Ini berarti kerja sama keamanan pun rawan dimaknai sebagai bentuk keterlibatan langsung pihak asing dalam sistem digital kita. Tanpa struktur keamanan siber nasional yang kokoh dan mandiri, kerja sama semacam ini dapat membuka celah intervensi.
Pesan pentingnya adalah: kedaulatan digital tak bisa sekadar bergantung pada niat baik. Ia harus diperjuangkan dengan investasi pada teknologi lokal, penguatan regulasi, serta kemitraan yang sejajar—bukan relasi asimetris yang berpotensi melemahkan kontrol kita atas data warga sendiri.
4. Literasi Digital Publik: Pilar yang Masih Rapuh
Salah satu kelemahan paling krusial dalam diskursus ini adalah minimnya literasi data masyarakat. Banyak warga belum memahami bagaimana data mereka diproses, disimpan, bahkan dijual. Dalam kondisi ini, setiap kerja sama pemerintah—apa pun bentuknya—rawan disalahpahami atau dijadikan alat manipulasi oleh pihak yang ingin merusak kepercayaan publik.
Tanggung jawab membangun literasi digital seharusnya menjadi komitmen lintas sektor: dari pemerintah, institusi pendidikan, hingga media massa. Masyarakat perlu diberi pengetahuan dasar tentang privasi digital, pengelolaan data, serta hak-haknya sebagai subjek data. Tanpa itu, retorika jaminan keamanan akan terdengar hampa di tengah ketidakmengertian kolektif.
Kritiknya, komunikasi pemerintah dalam isu ini masih terlalu top-down. Perlu pendekatan yang lebih partisipatif dan edukatif, agar setiap warga dapat memahami konteks dan mengambil sikap berdasarkan informasi yang benar, bukan sekadar asumsi atau ketakutan.
5. Etika dan Kepercayaan di Era Digital
Lebih dari sekadar hukum, isu data pribadi menuntut pertanggungjawaban etis dari negara. Kerja sama internasional di bidang teknologi, apalagi yang menyangkut data warga, harus tunduk pada prinsip transparansi, persetujuan sadar (informed consent), dan non-komersialisasi. Tanpa prinsip itu, negara bisa saja tergelincir menjadi fasilitator eksploitasi data rakyatnya sendiri.
Kepercayaan digital bukan dibangun melalui janji, tapi melalui sistem yang dapat diuji dan diawasi publik. Perlu mekanisme pelaporan publik, audit independen, serta kanal aduan yang efektif dan inklusif. Inilah bentuk etika pemerintahan yang modern—bukan sekadar respons reaktif terhadap kritik, tetapi kesiapan terbuka dalam segala proses kebijakan digital.
Refleksi terbesarnya: siapa yang kita percayai untuk menjaga jejak digital kita? Di era ketika data adalah kekuasaan baru, maka tanggung jawab negara tak bisa hanya legalistik, tapi harus juga moral dan etis.
Penutup: Dari Klarifikasi Menuju Reformasi Digital
“Tak ada penyerahan data pribadi,” ujar Prasetyo Hadi. Namun pernyataan itu hanya awal dari diskusi panjang tentang transparansi, kedaulatan, dan etika digital. Di tengah kecurigaan publik terhadap praktik surveillance global, kerja sama antarnegara dalam bidang digital tak bisa dibungkus jargon keamanan semata. Ia harus terbuka, berbasis hukum, dan diawasi publik.
Jika Indonesia ingin menjadi negara yang berdaulat secara digital, maka langkah pertamanya bukan sekadar membuat UU atau menjalin kerja sama internasional. Ia harus membangun sistem yang demokratis dalam pengelolaan data, memberdayakan warganya dengan literasi digital, dan menunjukkan bahwa di negeri ini, data pribadi benar-benar dianggap sebagai hak dasar, bukan komoditas dagang. Wallahu a'lam.
Daftar Pustaka
Pikiran-Rakyat.com. “Istana: Tak Ada Penyerahan Data Pribadi ke AS, Hanya Soal Keamanan Platform.” 25 Juli 2025. https://www.pikiran-rakyat.com/news/pr-019523658
Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi
Solove, Daniel J. Understanding Privacy. Harvard University Press, 2008.
Zuboff, Shoshana. The Age of Surveillance Capitalism. PublicAffairs, 2019.
Kominfo. “Roadmap Transformasi Digital Nasional 2021–2024.” Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI