Tradisi Ikat Tas demi Bangku Depan: Refleksi Kecemasan Akademik Orang Tua
"Bangku depan dianggap jalan pintas menuju prestasi. Tapi benarkah itu satu-satunya kunci?"
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pagi yang masih gelap tak menyurutkan langkah puluhan orang tua di Indramayu untuk tiba di sekolah sejak Subuh. Mereka bukan hendak mendaftar ulang atau mengikuti rapat wali murid, melainkan berebut satu hal yang dianggap sangat krusial bagi masa depan anak mereka: bangku paling depan di ruang kelas. Di SDN 4 Kedokanagung, fenomena ini bahkan sudah menjadi ritus tahunan, diwarnai dengan aksi mengikat tas anak menggunakan tali rafia di kursi incaran, hanya untuk memastikan posisi terdepan tak direbut orang lain.
Laporan Republika (14/7/2025) yang menyajikan potret ini menyentil kita sebagai masyarakat tentang bagaimana pendidikan—yang seharusnya menumbuhkan makna belajar—malah dikerdilkan menjadi soal posisi duduk. Tradisi ini bukan sekadar soal kursi, tapi cermin dari kecemasan orang tua atas sistem pendidikan yang mereka anggap keras, kompetitif, dan tidak memberi banyak ruang bagi keberagaman gaya belajar.
Fenomena ini layak dikritisi lebih jauh. Mengapa posisi duduk bisa menjadi sedemikian penting? Apakah sistem pendidikan dan komunikasi sekolah turut menyuburkan mentalitas semacam ini? Dan lebih jauh lagi, bagaimana seharusnya kita memahami partisipasi orang tua dalam pendidikan tanpa terjebak pada simbol-simbol permukaan?
1. Bangku Depan sebagai Simbol Keunggulan?
Bagi banyak orang tua, duduk di bangku depan diyakini membawa keuntungan signifikan: anak lebih fokus, tidak terdistraksi, dan lebih cepat menyerap pelajaran. Keyakinan ini memang memiliki dasar logis, namun ketika diekspresikan lewat aksi berebut kursi, muncul pertanyaan tentang apakah sistem pengajaran kita telah terlalu kaku, sehingga seolah hanya anak yang duduk depanlah yang punya harapan cemerlang.
Di sisi lain, persepsi semacam ini juga mencerminkan keterbatasan pemahaman terhadap keragaman gaya belajar anak. Anak yang aktif, reflektif, atau kinestetik justru mungkin lebih nyaman di tempat berbeda. Mengidealkan bangku depan tanpa mempertimbangkan karakter belajar anak justru bisa kontraproduktif. Pendidikan seyogianya menyesuaikan dengan murid, bukan murid yang dipaksa menyesuaikan diri secara seragam dengan posisi duduk.