Ketika Dunia Diam, Impunitas Berkembang
Tragedi di Biara Sagaing menambah daftar panjang pelanggaran HAM yang dilakukan militer Myanmar, namun belum cukup kuat menggugah taring diplomasi internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ASEAN, dan negara-negara besar hingga kini belum mampu menekan junta secara berarti. Sanksi ekonomi terbatas telah diberlakukan, tetapi jalur senjata dan dukungan politik terhadap junta tak benar-benar terputus.
Reaksi internasional yang lemah menyuburkan impunitas. Ketika lembaga keagamaan dan simbol perdamaian dijadikan sasaran, itu bukan hanya pelanggaran militer, melainkan penghinaan terhadap nilai kemanusiaan global. Alih-alih membungkam rakyat, kekejaman ini justru mempertebal legitimasi moral gerakan perlawanan rakyat.
Jika dunia tak segera bertindak tegas, maka tragedi seperti Sagaing akan terus terulang, menggerus kepercayaan publik global terhadap nilai-nilai keadilan universal.
Diplomasi Indonesia Diuji di Tanah yang Sama
Dalam konteks yang berbeda namun tetap mengguncang, Indonesia turut menjadi bagian dari dinamika pelik Myanmar. Seorang selebgram Indonesia berinisial AP divonis tujuh tahun penjara oleh otoritas Myanmar. Ia dituduh melanggar Undang-Undang Anti-Terorisme setelah diduga bertemu kelompok bersenjata yang dianggap organisasi terlarang.
Meski Kementerian Luar Negeri dan KBRI di Yangon telah memberikan pendampingan dan mendukung permohonan pengampunan, kasus ini memperlihatkan bahwa Myanmar bukan lagi tempat yang aman, bahkan bagi warga negara asing yang tidak terlibat dalam konflik.
Kekerasan terhadap warganya sendiri dan kriminalisasi terhadap pihak luar memperlihatkan pola pemerintahan militer yang represif dan tertutup. Indonesia, sebagai bagian dari ASEAN, menghadapi dilema berat: bagaimana menjalankan diplomasi yang efektif tanpa turut melegitimasi kekuasaan junta?
Biara, Simbol Agung yang Kini Berdarah
Biara Buddha sejatinya adalah ruang refleksi, tempat menyepi dari dunia yang bising oleh ambisi dan kebencian. Namun dalam konteks Myanmar hari ini, biara telah menjadi simbol tragis dari hilangnya rasa hormat terhadap nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Serangan udara ke tempat suci ini menunjukkan betapa brutalnya operasi militer yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar konflik bersenjata, termasuk perlindungan warga sipil.
Kekerasan yang menyasar tempat ibadah tidak hanya menimbulkan duka, tetapi juga melukai hati kolektif umat manusia. Di tengah kesunyian malam, dentuman bom itu bukan hanya menghancurkan bangunan biara, tetapi juga mengguncang nurani dunia.