Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Uang Kita, Rasa Kita: Menyatukan Cinta, Menyelaraskan Angka

10 Juli 2025   15:48 Diperbarui: 10 Juli 2025   15:48 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Bukan jumlah uang yang mempersatukan, tapi rasa saling percaya dalam mengelolanya. (Sumber: Alodokter)

Uang Kita, Rasa Kita: Menyatukan Cinta, Menyelaraskan Angka

"Bukan jumlah uang yang mempersatukan, tapi rasa saling percaya dalam mengelolanya." — Sultani N. Wibowo

Oleh Karnita

Pendahuluan: Saatnya Finansial Jadi Bahasa Cinta

Ketika cinta mengikat dua insan dalam satu atap, pertanyaan tak terelakkan muncul: "uang suami, uang istri, atau uang kita?" Pertanyaan ini mengemuka dalam artikel berjudul Uang Suami, Uang Istri, atau Uang Kita? Ini Cara Bijaknya! oleh Harmoko, tayang di Kompasiana.com, Kamis 10 Juli 2025. Lebih dari sekadar provokasi retoris, ini adalah isu yang menyentuh akar harmoni rumah tangga: kepercayaan, keterbukaan, dan kerja sama.

Di banyak keluarga Indonesia, urusan uang masih dibalut tabu, dibisikkan dalam gelap, atau malah dibiarkan tanpa sistem. Padahal, di balik angka-angka rupiah yang tersimpan di rekening bersama atau pribadi, tersembunyi rasa: rasa aman, dihargai, atau justru terabaikan. Maka, menyoal keuangan rumah tangga bukan soal teknis semata—ini tentang relasi.

Alasan artikel ini patut direnungkan bukan hanya karena urgensinya dalam menghadapi biaya hidup yang makin kompleks, tapi karena ia mengajak kita, para keluarga muda, untuk berdamai dengan uang sebagai bagian dari bahasa cinta. Bukan untuk berdebat siapa yang punya lebih, tapi bagaimana membuatnya bermakna.

1. Bukan Soal Sistem, Tapi Soal Kesepahaman

Tulisan Harmoko mengurai tiga sistem keuangan rumah tangga: gabung total, pisah total, dan hybrid. Tapi poin terpenting bukan sistemnya, melainkan bagaimana pasangan mencapainya. Jika diskusi keuangan dimulai dari perbandingan semata, bukan pemahaman, maka sistem apa pun akan pincang.

Di sinilah pentingnya membangun literasi keuangan emosional. Pasangan perlu memahami tidak hanya kondisi finansial satu sama lain, tetapi juga psikologi di baliknya: apakah seseorang boros karena trauma masa kecil? Atau hemat karena takut kehilangan kendali? Tanpa ini, angka hanyalah simbol kosong.

Solusinya? Buat kesepakatan keuangan sebagai bagian dari percakapan rutin sejak pra-nikah. Diskusikan gaya hidup, impian, dan ketakutan masing-masing tanpa menghakimi. Terapkan sistem yang fleksibel, evaluatif, dan terbuka terhadap perubahan ritme hidup.

2. Dana Pribadi: Bukan Rahasia, Tapi Ruang Bernapas

Gagasan tentang "uang pribadi" kerap disalahpahami sebagai bentuk egoisme atau penyembunyian. Padahal, jika dikelola dengan transparan dan disepakati, dana pribadi justru adalah cara sehat menjaga identitas dalam kebersamaan.

Uang pribadi memungkinkan seseorang membeli barang, traktir teman, atau menyalurkan hobi tanpa perlu persetujuan panjang. Ini bukan soal menghindar dari tanggung jawab, tapi memberi ruang otonomi dalam struktur kolektif rumah tangga.

Ajak pasangan membuat kesepakatan: berapa persen dari pendapatan yang menjadi "uang bebas", dan kapan batas transparansi diperlukan. Dengan demikian, kepercayaan tumbuh karena diberi, bukan diminta.

3. Menabung dan Investasi: Wujud Nyata Rasa Sayang

Menabung dan berinvestasi bersama adalah bentuk cinta yang konkret. Ia menunjukkan bahwa pasangan tak hanya hidup di hari ini, tapi juga berkomitmen untuk masa depan bersama. Sayangnya, masih banyak keluarga yang menjalani hidup hanya dari gaji ke gaji.

Dalam artikel Harmoko, terlihat bahwa perencanaan jangka panjang seperti dana pendidikan, rumah, atau pensiun seharusnya dibicarakan sejak awal. Tidak perlu rumit: cukup mulai dari tujuan bersama, nominal realistis, dan platform yang aman.

Untuk keluarga muda, gunakan aplikasi finansial sebagai alat bantu, bukan pengganti keputusan. Libatkan pasangan dalam setiap keputusan investasi agar keduanya merasa terlibat dan bertanggung jawab. Cinta tumbuh dalam rencana, bukan hanya dalam momen spontan.

4. Teknologi Keuangan: Bukan Sekadar Tools, Tapi Jembatan Dialog

Harmoko menyebutkan aplikasi keuangan sebagai solusi praktis. Tapi lebih dari sekadar tools, aplikasi ini bisa jadi pemantik dialog antar pasangan. Saat grafik pengeluaran muncul, yang dibahas bukan hanya angka, tapi keputusan: mengapa kita membeli ini, untuk apa pengeluaran itu?

Alih-alih saling menyalahkan saat saldo menipis, gunakan data untuk memperbaiki pola. Jadikan momen evaluasi bulanan sebagai ritual keluarga: duduk bersama, secangkir teh, dan laporan keuangan sebagai bahan refleksi.

Ini bukan manajemen keuangan kaku, tapi penguatan komunikasi. Aplikasi hanyalah alat—yang membuatnya hidup adalah kebiasaan membicarakannya secara terbuka dan penuh empati.

5. Saat Tak Sepakat: Konseling adalah Keberanian, Bukan Kegagalan

Artikel ini juga menyinggung pentingnya konseling jika konflik tak terhindarkan. Di sinilah sering muncul resistensi: mencari bantuan dianggap kelemahan. Padahal, konseling justru tanda bahwa pasangan cukup dewasa untuk menyelamatkan relasi, bukan hanya mempertahankan gengsi.

Perencana keuangan atau konselor keluarga bukan hakim, melainkan fasilitator dialog. Mereka hadir bukan untuk menyalahkan, tapi memperjelas perspektif yang terhalang emosi. Dalam banyak kasus, hadirnya pihak ketiga bisa mengungkapkan akar masalah yang selama ini tersembunyi.

Saran kami: jangan tunggu hingga konflik akut. Jadikan konseling sebagai bagian dari budaya sehat berumah tangga. Tak harus formal—teman bijak, mentor, atau komunitas keluarga bisa menjadi ruang berbagi yang membangun.

Penutup: Cinta yang Mengelola, Bukan Menguasai

Ketika kita menyoal "uang siapa" dalam pernikahan, sesungguhnya kita sedang menyoal "nilai siapa yang kita prioritaskan". Apakah keadilan, keterbukaan, atau kekuasaan? Apakah pengertian atau ego? Jawaban itulah yang menentukan sistem, bukan sebaliknya.

Keuangan rumah tangga, jika dikelola dengan cinta dan komunikasi, bukan hanya alat kelangsungan hidup, tetapi alat memperkuat kebersamaan. Dari rekening bersama, kita belajar makna berbagi. Dari dana pribadi, kita belajar arti menghargai. Dari tabungan dan rencana investasi, kita membangun harapan bersama.

“Dalam rumah tangga, cinta diuji bukan hanya saat susah dan senang, tapi saat menghitung dan membagi.” — Nuning A. Rahayu

Daftar Pustaka: 

Kompasiana. (2025, 10 Juli). Uang Suami, Uang Istri, atau Uang Kita? Ini Cara Bijaknya! https://www.kompasiana.com/harmoko4665/686ea74f34777c5343323822/uang-suami-uang-istri-atau-uang-kita-ini-cara-bijaknya

Kompas. (2023, 15 Maret). Merawat Harmoni Finansial dalam Keluarga Modern. https://www.kompas.id/

Republika. (2024, 7 September). Konseling Keluarga: Bukan Aib, Tapi Solusi. https://www.republika.co.id/

Media Indonesia. (2024, 22 Januari). Perempuan, Otonomi Finansial, dan Peran Dana Pribadi. https://www.mediaindonesia.com/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun