Pantai, Perahu, dan Keramba: Mencari Titik Temu di Tengah Gelombang Aspirasi
"Amanah laut bukan hanya tentang izin, tapi tentang keseimbangan antara hidup dan penghidupan."
Oleh Karnita
Pendahuluan: Ketika Laut Jadi Ruang Bersilang Aspirasi
Dalam lanskap biru Pantai Timur Pangandaran yang biasa dipenuhi riuhnya perahu nelayan dan semarak water sport wisatawan, kini bergulir sebuah wacana yang memantik gelombang reaksi publik. Diberitakan oleh Agus Kusnadi dalam artikel berjudul "Nelayan dan Pelaku Wisata Water Spot Tolak Penambahan Keramba Jaring Apung di Pantai Pangandaran" yang dimuat Pikiran-Rakyat.com (6 Juli 2025), wacana pemasangan tambahan keramba jaring apung oleh PT Pasifik Bumi Samudera mendapat penolakan dari berbagai pihak, khususnya Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan pelaku wisata lokal. Dikhawatirkan, kebijakan ini akan menimbulkan gangguan pada lalu lintas perahu nelayan serta mereduksi daya tarik wisata air yang menjadi andalan ekonomi masyarakat.
Kita patut mengapresiasi keberanian media dan para tokoh lokal seperti Jeje Wiradinata yang menyuarakan potensi konflik ruang kelautan secara terbuka namun konstruktif. Dalam sejarah kebijakan pemanfaatan ruang laut, kerapkali terjadi tumpang tindih antara program investasi, konservasi, dan kepentingan ekonomi rakyat pesisir. Belajar dari berbagai kasus serupa, keterlibatan warga lokal dan transparansi pengambilan keputusan menjadi syarat mutlak agar pembangunan tak malah meninggalkan luka ekologis dan sosial.
Penulis tertarik mengulas isu ini karena relevansinya sangat tinggi terhadap keberlanjutan tata kelola pesisir. Konflik kecil di atas gelombang ini merepresentasikan persoalan lebih besar: bagaimana kita mengelola sumber daya laut secara inklusif? Apakah pertimbangan teknis cukup tanpa mendengar denyut nadi kehidupan di sekitarnya? Artikel ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan, melainkan mengajak semua pihak mencari solusi bersama dengan semangat kolaboratif seperti yang biasa didengungkan oleh tokoh-tokoh bijak seperti Sultani atau Nuning---yakni pembangunan yang menyatu dengan aspirasi warga.
1. Ruang Laut: Milik Siapa dan Untuk Apa?
Permasalahan utama yang mencuat bukan sekadar soal izin dari kementerian, tetapi lebih dalam: siapa yang punya kuasa menentukan fungsi ruang laut? Lokasi pemasangan keramba terapung di Pantai Timur Pangandaran merupakan area yang selama ini hidup oleh kegiatan perikanan rakyat dan wisata bahari. Ketika ruang ini tiba-tiba dialihfungsikan menjadi area budi daya industri, tanpa keterlibatan warga terdampak, muncul pertanyaan mendasar tentang keadilan ekologis dan sosial.
Dalam hal ini, pihak HNSI dan pelaku wisata bukan sedang menolak kemajuan. Mereka hanya menuntut keterlibatan yang adil dalam pengambilan keputusan. Keberadaan terumbu karang, jalur perahu nelayan, hingga kawasan konservasi di lokasi rencana pemasangan keramba adalah fakta ekologis yang tidak boleh diabaikan. Rencana investasi harus mengindahkan daya dukung dan daya tampung kawasan secara ilmiah dan partisipatif.
Solusinya? Perlu segera dilakukan audit lingkungan dan konsultasi publik terbuka yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) yang diakui dalam hukum internasional mesti diterapkan secara nyata di panggung lokal. Pemerintah daerah bisa memediasi ruang dialog agar konflik ini tak membesar menjadi resistensi sosial.