Apa yang ditawarkan Teras Cihampelas adalah bentuk baru dari infrastruktur sosial: ruang yang tidak hanya berfungsi secara fisik, tetapi juga simbolik. Ia menjadi panggung kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan pelaku usaha kecil. Hal ini terbukti dari narasi pedagang seperti Suherman, Aan yang mampu mempertahankan omzet stabil meski kondisi tak ideal. Itu bukan kebetulan, tapi bukti bahwa ruang ini punya daya tahan sosial.
Ironisnya, ketika wajah kota berubah pasca-pandemi, narasi pembongkaran justru menguat. Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik (2025), lebih dari 60% masyarakat perkotaan Indonesia merasa kehilangan ruang publik yang aman dan inklusif. Dalam konteks ini, Teras Cihampelas seharusnya dilihat sebagai peluang, bukan beban.
2. Solusi Kolektif, Bukan Pembongkaran
Artikel Irfan Sjafari menunjukkan bahwa kesalahan tidak ada pada konstruksi, melainkan pada kelalaian perawatan. Ini menyentil satu fakta penting: pemerintah kerap gagal memelihara setelah membangun. Maka bukan pembongkaran yang harus menjadi opsi utama, melainkan revitalisasi berbasis partisipasi warga.
Revitalisasi bisa dimulai dari manajemen terpadu. Saran akademisi seperti Yogi Suprayogi,  dari Universitas Padjadjaran tentang penunjukan BUMD atau swasta untuk pengelolaan adalah salah satu solusi konkret. Hal ini bisa difasilitasi melalui Peraturan Wali Kota (Perwal) yang menetapkan sistem kemitraan sekaligus target layanan minimal—kebersihan, keamanan, dan aktivitas rutin.
Tentu revitalisasi juga membutuhkan penguatan anggaran dan SDM. Namun, dibandingkan biaya pembongkaran dan pembangunan ulang jalur Cihampelas yang bisa mencapai puluhan miliar, perawatan jauh lebih hemat dan berdampak. Sebuah kebijakan cerdas seharusnya tidak sekadar efisien, tetapi juga berkelanjutan.
3. Menyambung Urban Farming dan Ekonomi Hijau
Usulan dari aktivis Tini Martini, soal urban farming patut diapresiasi dan diperluas. Bayangkan Teras Cihampelas disulap menjadi taman hidroponik kota dengan kios UMKM kuliner sehat. Konsep ini bukan utopia: Jakarta, Seoul, dan Singapura telah melakukannya. Dengan insentif yang tepat, warga bisa ikut merawat sambil berjualan.
Urban farming juga bisa menjadi pendidikan ekologis publik. Sekolah-sekolah sekitar dapat menjadikan Teras sebagai laboratorium hijau—tempat belajar pertanian kota, pemilahan sampah, dan konservasi air. Kolaborasi dengan komunitas lingkungan akan membuat ruang ini kembali hidup, bukan hanya sebagai tempat jual beli, tetapi juga perenungan akan keberlanjutan.
Lebih jauh, bila dikaitkan dengan agenda Bandung sebagai kota kreatif UNESCO, Teras bisa menjadi zona ekokreatif yang menampilkan produk-produk hijau, pertunjukan komunitas, hingga festival tanaman kota. Dari sudut ini, Teras Cihampelas bisa naik kelas: bukan sekadar pasar, tapi ruang ekosistem urban yang baru.
4. Aktivasi Komunitas dan Event Kota