Kala Ciburuy Sunyi Ditinggal Pergi: Di Antara Gemerlap Lembang dan Harapan yang Belum Pulang
“Kita kehilangan bukan karena dilupakan, tapi karena tak cukup disiapkan untuk diingat kembali.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pagi di tepian Danau Ciburuy bukan lagi soal lengking tawa anak-anak dan debur riang dayung perahu wisata. Kini, yang terdengar lebih sering adalah desir angin, rintih kios-kios kosong, dan tatapan pedagang yang menggantungkan harap pada kunjungan musiman. Dalam sepi yang pelan namun pasti ini, Ciburuy tidak hanya ditinggalkan oleh wisatawan, tetapi juga oleh narasi besar yang selama ini membungkus Lembang dengan wangi kemasan pariwisata modern.
Berita yang ditulis Pikiran Rakyat pada 28 Juni 2025 bertajuk “Wisata Ciburuy Lesu, Pedagang Lokal Merana di Tengah Sepinya Pengunjung” membuka tabir kegetiran ini. Seorang pedagang lama, Lia, menjadi saksi hidup pergeseran zaman dan destinasi. Ciburuy—dengan riwayatnya sebagai danau warisan dan ruang rekreasi warga setempat—kini merana di persimpangan kompetisi pariwisata. Tempat yang dahulu ramai oleh wisatawan lokal, kini hanya sekadar persinggahan, bukan tujuan.
Mengapa narasi seperti ini penting diangkat? Karena di balik data kunjungan yang menurun, ada krisis identitas destinasi, ada ketimpangan narasi antara pusat dan pinggiran wisata. Di tengah geliat Lembang sebagai bintang utama Bandung Raya, Ciburuy seakan menjadi bayang-bayang yang terlupakan. Inilah urgensinya: bukan sekadar menyelamatkan objek wisata, tapi mengembalikan daya hidup ruang-ruang lokal yang dulu menjadi denyut pariwisata rakyat.
1. Lembang Mendulang, Ciburuy Menahan Gelombang
Gemerlap Lembang dengan deretan glamping, kafe tematik, hingga atraksi digital membuat daerah-daerah di sekitarnya seperti Ciburuy tampak kusam di mata wisatawan baru. Transformasi selera wisata yang mengarah pada “Instagramable destination” tidak memberi cukup ruang bagi Ciburuy untuk bersolek sesuai zamannya.
Namun, bukan berarti Ciburuy kalah karena kurang menarik. Ia kalah karena kalah dikelola narasinya. Pemerataan promosi pariwisata masih menjadi tantangan besar di Bandung Barat. Ketimpangan ini memperlihatkan bagaimana pembangunan pariwisata sering kali lebih menekankan investasi kapital, bukan revitalisasi kultural.
Harus diakui, posisi Ciburuy yang tidak memiliki akses secepat dan sepopuler Lembang turut menyumbang penurunan kunjungan. Tetapi, menyalahkan lokasi tanpa memperbaiki sistem promosi dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan wisata adalah jalan pintas yang menyakitkan.