Menilik Hikmah di Balik Kasus Harvard: Momen Reposisi Strategi Pendidikan Tinggi Nasional
"Krisis adalah kesempatan untuk bertumbuh — Harvard boleh terguncang, tapi kita bisa menguat."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pada 13 Juni 2025, sebuah opini tajam dari Zainal Abidin dipublikasikan di Kompas.id., Â menanggapi kisruh antara Universitas Harvard dan pemerintahan Presiden Donald Trump. Perseteruan ini bukan sekadar tarik-ulur soal data mahasiswa asing, tetapi telah menjelma menjadi simbol konflik antara otonomi akademik dan kepentingan politik negara. Kasus ini menyeret implikasi besar, mulai dari ancaman pelarangan visa F, M, dan J, hingga disrupsi hubungan internasional dalam dunia pendidikan tinggi global.
Artikel ini menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama dari kacamata pendidikan tinggi Indonesia. Di tengah ketegangan global ini, muncul peluang reflektif dan strategis: bagaimana Indonesia memosisikan diri dalam pusaran pendidikan global? Bagaimana kita mengalibrasi ulang visi pendidikan tinggi kita, memanfaatkan krisis Harvard sebagai pemicu perbaikan ekosistem dalam negeri? Pembahasan ini menguraikan isu-isu utama, menawarkan kritik konstruktif, serta merumuskan langkah ke depan yang visioner dan berakar pada kemandirian bangsa.
1. Harvard dan Ketegangan Geopolitik: Autonomi Akademik dalam Tekanan
Pemerintahan Presiden Trump menekan Harvard dengan dalih keamanan nasional, menuntut data disiplin dan aktivitas politik mahasiswa asing. Kebijakan ini mencerminkan erosi prinsip kebebasan akademik dan menciptakan preseden buruk: pendidikan dijadikan instrumen politik. Harvard, sebagai simbol prestise akademik, dijadikan pion dalam papan catur geopolitik.
Implikasinya tidak main-main. Penangguhan visa F, M, dan J oleh Menteri Luar Negeri AS menciptakan efek domino: ketidakpastian bagi ribuan mahasiswa asing dan potensi tergerusnya reputasi global universitas-universitas AS. Sementara Mahkamah Agung mungkin memenangkan Trump, dunia menyaksikan bagaimana kampus sebagai ruang otonom, justru dirongrong dari dalam.
Indonesia perlu belajar dari ini: melindungi otonomi kampus dari intervensi politik adalah syarat mutlak untuk membangun keunggulan akademik. Rektor dan senat akademik tak boleh menjadi perpanjangan tangan kekuasaan; kebebasan berpikir harus dijamin, namun tetap dalam koridor tanggung jawab moral dan sosial.
2. Peluang untuk Mengoreksi Arah Beasiswa Luar Negeri