Khadijah (RA), Ketika Rahasia Mim Tersingkap
“Allah tidak pernah memberikanku wanita yang lebih mulia dari Khadijah.” — Rasulullah SAW
Oleh Karnita
Pendahuluan
Ada banyak cara mengenang sosok Khadijah binti Khuwailid—istri pertama Rasulullah SAW—tetapi tak banyak yang melakukannya seteliti, sepeka, dan seindah Sibel Eraslan dalam novel Khadijah Ketika Rahasia Mim Tersingkap. Buku setebal 388 halaman ini bukan sekadar biografi roman yang disusun ulang, melainkan karya literer yang mengejawantahkan cinta, keteguhan, dan kemanusiaan seorang perempuan luar biasa.
Sebagai pembaca yang telah lama mengagumi sosok Khadijah dari fragmen-fragmen sejarah Islam, membaca novel ini seperti menemukan jalur lain menuju pemahaman yang lebih utuh dan manusiawi. Ia bukan hanya Ummul Mukminin dalam gelar mulia, melainkan perempuan dengan pergulatan rasa, kecerdasan strategis, dan kesetiaan yang membatu. Sibel Eraslan menjahit fragmen-fragmen itu dengan bahasa yang lembut, puitis, dan reflektif—sehingga mampu menyentuh ruang batin terdalam.
Mengapa novel ini penting? Sebab di tengah gemuruh zaman yang serba cepat dan dangkal, kita butuh literasi emosional. Khadijah bukan sekadar teladan dalam kerangka doktrin, tetapi inspirasi dalam makna terdalam: menjadi manusia utuh yang mencintai dengan segenap tenaga, dalam diam, dalam sabar, dalam mim.
Sinopsis: Khadijah (RA) Rahasia yang Disulam dari Cinta dan Ketabahan
“Dalam diam, ia menyimpan cinta dan menuliskannya di udara, dalam bayangan, dalam kesetiaan.”
Novel ini membawa kita menelusuri kembali perjalanan hidup Khadijah, mulai dari masa mudanya yang tangkas dan berdikari. Ia adalah perempuan yang bangun di awal waktu, piawai dalam perdagangan, cekatan di medan padang pasir, serta lembut dalam menjamu tamu. Semua kualitas itu tidak hadir begitu saja, tetapi mewarisi ayahnya yang tangguh dan ibunya yang penuh welas asih.