Bahasa Daerah: Warisan yang Menunggu Diselamatkan, Bukan Sekadar Dirayakan
"Bahasa adalah jiwa dari peradaban; kehilangan bahasa berarti kehilangan cara pandang terhadap dunia."
Oleh Karnita
Menjaga Napas Bahasa Daerah di Tengah Gelombang Globalisasi
Pemerintah kembali menggulirkan komitmennya dalam pelestarian bahasa daerah. Sebanyak 120 bahasa daerah akan direvitalisasi sepanjang tahun 2025, menyusul upaya serupa yang telah menyentuh 114 bahasa pada tahun 2024. Pernyataan ini disampaikan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Hafidz Muksin, dalam Festival Tunas Bahasa Ibu Nasional di Depok (Pikiran Rakyat.com, 26 Mei 2025). Namun, di balik kabar baik ini, ada pekerjaan rumah besar yang menanti: bagaimana menjadikan revitalisasi ini lebih dari sekadar seremonial.
Langkah ini patut diapresiasi sebagai bentuk kesadaran pemerintah terhadap pentingnya melindungi keragaman linguistik Nusantara. Namun, penguatan bahasa daerah tidak cukup hanya dengan program tahunan, penghargaan simbolik, atau jargon pelestarian. Dibutuhkan strategi intergenerasional yang lebih konkret dan berorientasi pada dampak jangka panjang.
Apakah revitalisasi ini akan hidup dalam praktik atau sekadar bertahan dalam laporan capaian tahunan? Pertanyaan ini layak diajukan, terutama ketika bahasa daerah terus terdesak oleh dominasi bahasa nasional dan bahasa asing.
1. Kolaborasi yang Digemborkan, Sinergi yang Masih Terpisah
“Pelestarian bahasa daerah adalah tanggung jawab bersama,” ujar Hafidz. Tapi bagaimana peta peran itu dibagikan?
Narasi kolaborasi lintas sektor terdengar menjanjikan, tetapi dalam praktiknya sering kali belum ada mekanisme sinergi yang jelas antara pusat dan daerah, apalagi dengan komunitas akar rumput. Setiap pihak bergerak dengan semangat sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang konkret. Pemerintah daerah kerap menghadapi keterbatasan anggaran, tenaga ahli, dan arah kebijakan yang konkret.