Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bahasa Daerah: Warisan yang Menunggu Diselamatkan, Bukan Sekadar Dirayakan

27 Mei 2025   11:40 Diperbarui: 27 Mei 2025   11:40 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pentas kesenian dalam Festival Tunas Bahasa Ibu Nasional yang digelar  Kemendikdasmen,Depok (Dok. Pikiran Rakyat)

Bahasa Daerah: Warisan yang Menunggu Diselamatkan, Bukan Sekadar Dirayakan

"Bahasa adalah jiwa dari peradaban; kehilangan bahasa berarti kehilangan cara pandang terhadap dunia."

Oleh Karnita

Menjaga Napas Bahasa Daerah di Tengah Gelombang Globalisasi

Pemerintah kembali menggulirkan komitmennya dalam pelestarian bahasa daerah. Sebanyak 120 bahasa daerah akan direvitalisasi sepanjang tahun 2025, menyusul upaya serupa yang telah menyentuh 114 bahasa pada tahun 2024. Pernyataan ini disampaikan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Hafidz Muksin, dalam Festival Tunas Bahasa Ibu Nasional di Depok (Pikiran Rakyat.com, 26 Mei 2025). Namun, di balik kabar baik ini, ada pekerjaan rumah besar yang menanti: bagaimana menjadikan revitalisasi ini lebih dari sekadar seremonial.

Langkah ini patut diapresiasi sebagai bentuk kesadaran pemerintah terhadap pentingnya melindungi keragaman linguistik Nusantara. Namun, penguatan bahasa daerah tidak cukup hanya dengan program tahunan, penghargaan simbolik, atau jargon pelestarian. Dibutuhkan strategi intergenerasional yang lebih konkret dan berorientasi pada dampak jangka panjang.

Apakah revitalisasi ini akan hidup dalam praktik atau sekadar bertahan dalam laporan capaian tahunan? Pertanyaan ini layak diajukan, terutama ketika bahasa daerah terus terdesak oleh dominasi bahasa nasional dan bahasa asing.

1. Kolaborasi yang Digemborkan, Sinergi yang Masih Terpisah

Pelestarian bahasa daerah adalah tanggung jawab bersama,” ujar Hafidz. Tapi bagaimana peta peran itu dibagikan?

Narasi kolaborasi lintas sektor terdengar menjanjikan, tetapi dalam praktiknya sering kali belum ada mekanisme sinergi yang jelas antara pusat dan daerah, apalagi dengan komunitas akar rumput. Setiap pihak bergerak dengan semangat sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang konkret. Pemerintah daerah kerap menghadapi keterbatasan anggaran, tenaga ahli, dan arah kebijakan yang konkret.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun