"Regulasi tanpa eksekusi hanya jadi retorika. Dan keadilan tanpa perlindungan hanyalah ilusi."
Pendahuluan: Jalan Panjang di Balik Aksi 205
Aksi 20 Mei 2025 lalu bukan sekadar momentum peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Di jalanan Jakarta, puluhan ribu pengemudi ojek online (ojol) dari berbagai penjuru Nusantara menyuarakan kegelisahan yang telah lama terpendam.
Mereka menamainya "Aksi Akbar 205", sebagai pernyataan kolektif atas ketimpangan yang mereka hadapi—di antara algoritma, potongan yang mencekik, dan tarif yang kian mengecilkan martabat.
Isu utama dalam aksi ini bukan hanya soal besarnya potongan dari aplikator yang diklaim bisa mencapai hampir 50 persen, tetapi juga lemahnya pengawasan pemerintah terhadap praktik bisnis yang dianggap tidak adil.
Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, secara tegas menyebut bahwa “tidak ada ampun bagi aplikator pelanggar regulasi”—sebuah pernyataan keras yang mencerminkan kelelahan struktural dari akar rumput ekonomi digital.
Lima tuntutan utama yang diusung dalam aksi 205 menjadi cerminan kompleksitas sistem transportasi daring saat ini.
Dari tuntutan pemotongan maksimal 10 persen, penghapusan sistem tarif “hemat”, hingga keterlibatan YLKI dalam penetapan tarif layanan pengiriman—semuanya menyiratkan satu hal: keadilan ekonomi digital belum benar-benar hadir bagi para penggeraknya.
1. Antara Peraturan dan Realitas: Siapa yang Melanggar?
“Regulasi itu ada, tapi siapa yang menegakkan?”