Mengawal Program Sertifikat Gratis untuk Masjid dan Madrasah: Antara Tantangan dan Solusi
"Sebab sudah ada kejadian, ada masjid dan pesantren yang digugat ahli waris. Ke depan saya tidak ingin mendengar hal seperti itu terjadi lagi." - Bupati Bandung, Dadang Supriatna, 9 Mei 2025.
Oleh Karnita
Pendahuluan
Saya teringat betapa sulitnya menyaksikan tanah tempat ibadah—masjid atau madrasah—terjerat sengketa, hanya karena tidak ada kepastian hukum mengenai statusnya. Ini bukan cerita fiksi, tetapi kenyataan yang banyak terjadi di negeri kita. Beruntung, Bupati Bandung, Dadang Supriatna, kini meluncurkan sebuah program yang saya anggap sebagai langkah besar: pembuatan sertifikat hak atas tanah untuk masjid, pesantren, dan madrasah secara gratis. Program ini tak hanya mencakup sertifikasi tanah, namun juga penggratisan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Persetujuan Bangunan dan Gedung (PBG) bagi tempat ibadah ini. Tentu saja, hal ini memiliki makna lebih dalam daripada sekadar urusan administratif.
Bupati Dadang, dalam keterangannya pada 9 Mei 2025, menyatakan dengan tegas, "Sebab sudah ada kejadian, ada masjid dan pesantren yang digugat ahli waris. Ke depan saya tidak ingin mendengar hal seperti itu terjadi lagi." Pernyataan tersebut menggambarkan betapa krusialnya program ini bagi perlindungan aset-aset keagamaan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Dengan kolaborasi antara Pemkab Bandung, Kantor BPN/ATR, Kemenag Kabupaten Bandung, dan Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI), sekitar 8.300 masjid dan 1.500 madrasah—hampir 10 ribu unit tempat ibadah—akan segera mendapat manfaat dari program ini (Sumber: Republika, 9 Mei 2025).
Namun, perjalanan menuju kesuksesan program ini tidak tanpa tantangan. Banyak hal yang perlu diperhatikan agar program ini benar-benar berhasil memberikan perlindungan hukum bagi masjid dan madrasah di Kabupaten Bandung, dan bahkan menjadi contoh bagi daerah lainnya.
Penyusunan Dokumen Teknis yang Memadai: Kunci untuk Percepatan Proses
Salah satu hambatan utama yang saya lihat adalah masalah teknis dalam penyusunan dokumen. Tanpa gambar arsitektural dan perencanaan bangunan yang sesuai, mustahil bagi masjid dan madrasah untuk memenuhi persyaratan Persetujuan Bangunan dan Gedung (PBG). Meskipun Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) sudah turun tangan membantu, kenyataannya masalah teknis tetap menjadi penghambat besar dalam proses sertifikasi tanah.
Saya merasa solusi yang paling jelas adalah dengan memperkuat kolaborasi antara pemerintah daerah dan asosiasi arsitek atau lembaga profesional lainnya. Pelatihan atau workshop yang melibatkan pengurus masjid dan pesantren untuk memahami dan menyusun dokumen teknis sesuai dengan standar yang berlaku adalah langkah strategis yang perlu segera dilakukan. Ini akan mempercepat proses sertifikasi dan mengurangi beban administratif yang selama ini menghambat pelaksanaan program.