Ketika Keluarga Tak Lagi Menjadi Tempat Pulang: Kisah Sulis yang Terabaikan
"Keluarga seharusnya menjadi tempat pulang, bukan tempat perpisahan."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Tubuh lemah Sulis (54), mantan TKI asal Kota Batu, tampak lunglai ketika dibawa ke shelter oleh petugas Dinas Sosial di Nunukan, Kalimantan Utara. Kisah hidupnya mengandung serangkaian luka: ditolak anak, terkena stroke, dan kehilangan tempat tinggal. Ia akhirnya ditampung sementara sebelum diantar pulang ke kampung halaman.
Berita ini dilaporkan oleh Ahmad Dzulviqor dan Sari Hardiyanto dalam artikel “Kisah Pilu Eks TKI Sulis: Telantar di Nunukan, Ditolak Anak, Stroke, dan Kehilangan Tempat Tinggal” yang terbit di Kompas.com, 8 Mei 2025. Dalam laporan tersebut, Sulis digambarkan sebagai perempuan tangguh yang harus menghadapi kenyataan pahit sepulang dari Malaysia.
Tulisan ini mencoba merespons kisah tersebut bukan sekadar narasi empati, tetapi sebagai refleksi atas lemahnya sistem perlindungan sosial bagi perempuan mantan TKI. Lebih dari sekadar berita haru, kisah Sulis adalah alarm kemanusiaan yang mendesak kita semua untuk berbenah.
1. Perjalanan Sulis: Pengorbanan Seorang Ibu
Sulis bukan sekadar ibu yang pergi jauh demi anaknya—ia menyapu kebun orang di negeri asing demi rupiah untuk bayi kecilnya di kampung. Tapi saat tubuhnya lumpuh dan pulang tanpa daya, justru sang anak menolak kehadirannya. Bukan orang lain yang membisu, melainkan darah daging sendiri. Betapa getir, pengorbanan bertahun-tahun bisa pupus hanya karena fisik tak lagi berdaya.
Lebih pilu lagi, rumah yang ia bangun dari keringat di rantau dijual oleh saudaranya sendiri. Rumah itu bukan cuma bangunan, tapi simbol harapan seorang ibu yang ingin pulang dan menetap tenang. Ketika keluarga mengabaikan makna perjuangan itu, kepada siapa lagi bisa bersandar? Dalam diamnya, Sulis tak menuntut balas, tapi mengingatkan: cinta seorang ibu tak bersyarat, namun tetap layak dihargai.