Di sekolah kami, ada seorang wali murid yang bekerja sebagai operator mesin di pabrik tekstil. Ia datang ke sekolah saat pembagian rapor, wajahnya letih, tapi matanya penuh harap. "Pak, saya enggak bisa bantu banyak di rumah, paling cuma bisa nyuruh dia belajar," katanya sambil tersenyum. Aku tahu, itu bukan hanya kerendahan hati, tapi juga bentuk perjuangan yang tenang: pulang malam, bangun pagi, tapi tetap menyempatkan datang ke sekolah.
Buruh seperti itu tak akan masuk berita, tapi justru merekalah yang menyusun fondasi negeri ini. Mereka ada di balik sepatu anak kita, meja kantor kita, bahkan seragam sekolah yang kita pakai. Mereka bukan sekadar angka dalam data BPS, tapi manusia yang punya harapan dan kecemasan, seperti kita.
Seringkali, kita menganggap hasil kerja buruh sebagai sesuatu yang otomatis---pakaian bersih, makanan siap saji, bangku kelas yang rapi. Tapi di balik semua itu, ada detak hati yang sabar dan tak terlihat. Mereka tidak ingin dipuja, hanya ingin diakui bahwa keberadaannya bermakna. Dan bagi kami para guru, pengakuan itu bisa dimulai dari cara kita menghargai orang tua murid.
 "Upah Boleh Pas-Pasan, Tapi Harga Diri Jangan Pernah Murah"
"Yang penting halal, Pak. Biar anak-anak bisa sekolah."
Kalimat itu pernah saya dengar dari seorang tukang bangunan yang tengah mengantar anaknya daftar ulang. Tangannya masih berdebu, bajunya kotor semen, tapi ia berdiri tegak di depan meja administrasi sekolah dengan penuh rasa hormat. Tak ada rasa minder, tak ada keluhan soal biaya. Yang ia bawa adalah keyakinan: pendidikan anaknya harus jalan, berapa pun penghasilannya.
Sebagai guru, saya belajar banyak dari orang tua seperti itu. Mereka tahu sekolah tidak murah, tapi mereka juga tidak mau menyuap jalan pintas. Mereka bekerja keras, bukan untuk kaya, tapi agar anaknya bisa punya pilihan. Bagi mereka, menyekolahkan anak bukan investasi finansial, tapi perjuangan martabat. Dan saya sadar, tugas kami di ruang kelas bukan hanya mengajar, tapi menghormati perjuangan itu.
Sayangnya, harga diri buruh sering kali diuji justru oleh sistem yang tak adil. Upah yang pas-pasan, kontrak yang tak pasti, bahkan kadang perlakuan yang merendahkan. Tapi saya percaya: selama masih ada orang tua yang berani berkata "asal anak saya bisa sekolah", martabat itu belum mati. Dan sebagai pendidik, setidaknya kita bisa menjaga agar anak-anak mereka tumbuh dengan harga diri yang utuh.
2. "Yang Kita Ajarkan, Mereka Jalani Tanpa Banyak Bicara"
"Kerja keras itu bukan slogan di dinding, tapi napas sehari-hari."
Sering saya mengingatkan murid-murid soal disiplin, kerja keras, dan tanggung jawab. Tapi pelajaran sejati tentang itu justru saya temukan dari orang tua mereka. Seorang ibu bekerja sebagai buruh cuci di lima rumah berbeda, tetap sempat datang ke sekolah saat anaknya kena masalah. Ia tak banyak bicara, tapi wajahnya tegas, matanya jujur. "Saya enggak sekolah tinggi, Pak. Tapi saya enggak mau anak saya berbohong." Kalimat itu mengendap lebih dalam dari teori motivasi mana pun.