Buruh Bukan Mesin: Mereka yang Menjaga Detak Hidup Bangsa
"Yang bekerja keras tak selalu punya suara keras, tapi merekalah yang membuat negeri tetap bergerak."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Setiap pagi, sebelum bel sekolah berbunyi, saya sering melihat penjaga kebersihan sekolah sudah selesai menyapu halaman. Sesekali kami bertukar sapa, tapi lebih sering kami sibuk dengan urusan masing-masing. Ia dengan serok dan sapunya, saya dengan absensi dan RPP. Tapi belakangan ini, saya mulai bertanya dalam hati: siapa yang benar-benar menjaga ruang belajar ini tetap layak? Jawabannya, bukan hanya guru, tapi juga mereka---yang tak masuk daftar rapat kurikulum, tapi bekerja lebih awal dari kepala sekolah sekalipun.
Hari Buruh bukan sekadar tanggal merah. Ia adalah pengingat keras bahwa pekerjaan bukan cuma soal gaji, tapi juga soal martabat. Di ruang guru kami, perbincangan tentang buruh kadang mampir, tapi tak pernah mengendap lama. Padahal murid-murid yang saya ajar, banyak di antaranya adalah anak tukang bangunan, buruh pabrik, kuli angkut. Kita mendidik mereka untuk masa depan, tapi apakah masa kini orang tuanya sudah cukup dihargai? Seperti halnya mereka yang bekerja keras, guru pun adalah bagian dari sektor yang sering kali kurang diperhatikan, padahal kami juga turut berkontribusi dalam mencetak generasi penerus.
Hari Pendidikan Nasional, yang diperingati setiap 2 Mei, mengingatkan kita akan pentingnya pendidikan dalam membentuk karakter bangsa. Namun, apakah pendidikan itu hanya sebatas di ruang kelas ataukah juga di luar sana, dalam kehidupan sehari-hari, yang penuh dengan perjuangan para orang tua untuk memberi yang terbaik bagi anak-anak mereka? Pendidikan bukan hanya soal materi kurikulum, tetapi juga soal menghargai kerja keras setiap individu, mulai dari tenaga kebersihan hingga guru yang mengajar dengan sepenuh hati. Pendidikan, pada akhirnya, adalah investasi masa depan yang dimulai dari menghargai setiap bentuk pekerjaan yang mendukungnya.
Saya menulis ini sebagai guru, bukan pakar ketenagakerjaan. Sebagai orang yang menyaksikan dari dekat bagaimana hidup anak-anak pekerja keras ini, saya merasa punya tanggung jawab kecil untuk bersuara. Tulisan ini bukan sekadar refleksi, tapi juga bentuk terima kasih—untuk mereka yang bekerja, bukan hanya demi hidup sendiri, tapi demi mimpi anak-anaknya juga.
1. "Di Balik Mesin, Ada Hati yang Terus Berdetak"
"Manusia bukan roda pabrik yang bisa diganti kapan saja."