"Berjuanglah dengan Kepala Tegak!"
Pesan Mendikti Brian untuk Pejuang UTBK 2025
Oleh KarnitaÂ
PendahuluanÂ
"Jangan gentar. Jangan menyerah. Tunjukkan yang terbaik." -Â Brian Yuliarto, Mendiksaintek
Seruan itu mengalun lirih tapi kuat dari Menteri Pendidikan Tinggi Sains Teknologi, Brian Yuliarto, kepada seluruh peserta UTBK SNBT 2025. Ujaran yang ia unggah di akun Instagram resmi SNPMB pada Selasa malam (22 April 2025) menjelang dimulainya ujian esok harinya, menyuarakan harapan dan keyakinan. Mulai 23 April hingga 5 Mei 2025, ribuan siswa akan menghadapi ujian penting penentu masa depan mereka. Tapi kali ini, semangat perjuangan itu tak datang dari soal, melainkan dari keyakinan diri dan etika.
Disampaikan dalam bahasa yang hangat dan menggugah, Mendikti Brian menyebut UTBK bukan sekadar ujian, melainkan "medan ujian", tempat kejujuran dan ketekunan diuji. Pesan moral ini menjadi penting, terutama ketika integritas akademik kerap dibayangi oleh tekanan prestasi. Dalam kalimat yang penuh makna, ia mengajak peserta untuk menolak jalan pintas dan menjunjung tinggi kejujuran. Tak banyak pejabat publik yang memilih jalur narasi emosional semacam ini---dan justru karena itulah, pesannya terasa menyentuh.
Dibalik suara penyemangat itu, tersirat pula pesan sosial dan tanggung jawab kolektif. Bahwa pendidikan bukan hanya urusan siswa dan soal, tetapi medan nilai yang menyangkut keluarga, sekolah, hingga negara. Di tengah era ketika mesin pencari lebih cepat dari guru, dan tekanan sosial media lebih keras dari motivasi internal, pesan Brian terasa sebagai pelita di tengah kabut. Namun, tentu saja, pelita saja tak cukup---perlu bahan bakar dari sistem yang berpihak dan manusia dewasa yang hadir mendampingi.
1. Ketika Ayah Hadir Sebagai Penenang
Dalam momen penuh tekanan seperti UTBK, kehadiran ayah atau figur laki-laki dalam keluarga menjadi krusial. Sering kali peran ini tergantikan oleh guru les atau bahkan motivator daring. Padahal, sebuah pelukan ayah, atau sebaris kalimat seperti "Apa pun hasilnya, Bapak bangga," bisa lebih menenangkan dari ribuan simulasi soal.
Brian mencontohkan narasi ayah bagi bangsa---ia menyapa peserta dengan panggilan "anak-anakku". Ini bukan sekadar gaya bahasa, tetapi sinyal bagaimana sosok ayah (atau figur dewasa) dibutuhkan bukan hanya dalam ekonomi keluarga, melainkan juga dalam perjalanan emosional remaja.