Saat Dunia Terbakar, Kemanusiaan Menyala
Di dunia yang kadang terlalu sibuk menghitung ekonomi dan migrasi, kisah Sugianto menampar kesadaran kita. Di tengah kobaran api, dia memilih tetap menjadi manusia. Ia tak peduli status pekerja atau warga asing---yang ia tahu, di balik pintu-pintu yang ia ketuk malam itu, ada nyawa yang harus diselamatkan.
"Saya hanya berpikir: kalau ibu saya di rumah seperti mereka, siapa yang akan bantu?" kata Sugianto lirih. Ia tak minta pujian, tak minta penghargaan. Yang ia bawa hanya cinta.
Dan dunia pun belajar: kadang, pahlawan datang dengan tubuh lelah dan kaus basah, bukan jubah dan pangkat.
Penutup: Tentang Satu Nama dan Seribu Terima Kasih
Sugianto tak tahu bahwa aksinya akan viral. Ia bahkan mengaku malu ketika namanya disebut di media. Tapi baginya, satu hal pasti: "Saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan." Dunia boleh memujanya, tapi Sugianto tetaplah seorang nelayan, suami, ayah, dan anak bangsa.
Namun bagi warga Yeongdeok, nama itu akan diingat selamanya: Sugianto, lelaki dari Indonesia yang memilih berlari ke arah api, bukan menjauh darinya. Dan di pundaknya, bukan hanya nyawa para lansia yang tergendong---tapi juga martabat kemanusiaan yang tak terbakar. Wallahu a'la
Sumber:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI