Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Rakyat: Antara Cita-Cita dan Realita yang Tak Sederhana

17 Maret 2025   10:14 Diperbarui: 17 Maret 2025   10:14 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Mengecek kesiapan sekolah rakyat di Pati, Jateng (Sumber: Freepik)

Sekolah Rakyat: Antara Cita-Cita Mulia dan Realita yang Tak Sederhana

Gagasan besar tak cukup hanya dengan niat baik, ia harus kuat secara konsep, tangguh dalam implementasi

Oleh Karnita 

Cita-Cita yang Menggetarkan Nurani

Pemerintah melalui Kementerian Sosial resmi menggulirkan rencana peresmian Sekolah Rakyat sebagai bentuk intervensi pendidikan bagi keluarga miskin dan miskin ekstrem. Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menyatakan bahwa program ini sedang dalam tahap pematangan lintas sektor: mulai dari kurikulum, perekrutan guru, hingga sarana prasarana (Kompas.com, 15/3/2025). Presiden Prabowo bahkan menargetkan 100 Sekolah Rakyat berdiri tahun ini, dengan harapan setiap kabupaten/kota memiliki setidaknya satu lembaga pendidikan gratis bagi rakyat marjinal.

Niat Baik Tak Selalu Cukup

Sekilas, gagasan ini memantik harapan. Tapi sebagaimana pepatah lama, "jalan ke neraka dipenuhi niat baik"---gagasan yang tampaknya ideal belum tentu terbebas dari problem sistemik. Apakah Sekolah Rakyat benar-benar solusi jangka panjang atau hanya tambal sulam sesaat? Pertanyaan ini tak bisa dihindari.

Kurikulum "Plus-Plus": Harapan atau Kebingungan?

Prof. Mohammad Nuh selaku Ketua Tim Formatur menyebut Sekolah Rakyat akan mengusung kurikulum nasional plus-plus. Istilah ini terdengar progresif, tapi apa artinya? Tanpa penjelasan detail, kita berisiko mengulang kesalahan masa lalu: program pendidikan yang mengawang-awang, tak berakar pada kebutuhan nyata murid dan tak relevan dengan konteks sosial mereka.

Sekolah Asrama: Mengapa Tidak, Tapi Juga Mengapa Harus?

Konsep boarding school tentu menjanjikan kedisiplinan dan intensitas pembinaan karakter. Namun pertanyaannya, apakah sistem ini benar-benar sesuai untuk anak-anak dari latar belakang ekstrem miskin? Apakah asrama mampu menyembuhkan luka struktural yang telah mereka alami? Ataukah justru menjadi bentuk baru pemisahan sosial yang menyamar sebagai keberpihakan?

Guru ASN: Antara Profesionalisme dan Kesanggupan

Pemerintah merencanakan menggunakan guru ASN yang telah lulus PPG untuk mengajar di Sekolah Rakyat setelah melalui seleksi ulang. Tapi, apakah guru ASN yang selama ini terbiasa mengajar dalam ekosistem sekolah reguler siap menghadapi tantangan sosial-emosional khas anak-anak dari desil 1 dan 2 DTSEN? Dibutuhkan bukan hanya kemampuan pedagogis, tapi juga empati, daya lenting, dan keuletan mental luar biasa.

Perjanjian Orang Tua: Kontrol atau Partisipasi?

Salah satu syarat masuk Sekolah Rakyat adalah adanya perjanjian dari orang tua agar anak tidak putus sekolah. Di atas kertas, ini tampak logis. Namun dalam praktiknya, perjanjian ini bisa menjadi bentuk kontrol satu arah, alih-alih membangun partisipasi keluarga. Pendidikan bukan soal menahan anak tetap duduk di bangku sekolah, tapi menjadikan mereka berdaya, tumbuh, dan bermakna.

Infrastruktur dan Tata Kelola: Sudah Siapkah?

Gambar: Mengecek kesiapan sekolah rakyat di Pati, Jateng (Sumber: Freepik)
Gambar: Mengecek kesiapan sekolah rakyat di Pati, Jateng (Sumber: Freepik)

Pernyataan bahwa 40 dari 100 lokasi Sekolah Rakyat sudah "siap" patut diapresiasi, tapi apa ukuran kesiapan ini? Apakah mencakup SDM, legalitas, sistem evaluasi mutu, dan mekanisme pengaduan? Tanpa standar mutu yang kuat, Sekolah Rakyat berpotensi menjadi institusi semu yang menambah daftar panjang proyek pendidikan yang cepat redup.

Menjaring Murid, Bukan Menyaring Asa

Mensos menyebut bahwa calon murid harus berasal dari kelompok desil 1 dan 2 DTSEN. Ini pendekatan berbasis data yang baik. Namun proses penjaringan jangan sampai berubah menjadi penyaringan mimpi. Anak-anak bukan angka dalam tabel statistik. Mereka adalah manusia dengan keunikan, trauma, dan potensi. Jangan sampai seleksi malah menambah luka sosial yang selama ini sudah mereka tanggung.

Sekolah Rakyat dan Ironi Pendidikan Formal

Yang menyakitkan adalah ini: mengapa kita harus menciptakan Sekolah Rakyat, jika sistem pendidikan nasional kita sejak awal inklusif dan berpihak pada semua? Bukankah ini menjadi indikator bahwa sistem kita telah gagal mengakomodasi lapisan masyarakat terbawah? Sekolah Rakyat, dalam bentuk terbaiknya, justru menjadi refleksi bahwa sekolah formal gagal menjalankan fungsi sosialnya.

Sekolah Rakyat dan Bahaya Pengistimewaan

Jika Sekolah Rakyat menjadi terlalu istimewa---gratis, diasramakan, dengan kurikulum khusus---ia bisa menimbulkan ketimpangan baru. Bayangkan jika siswa sekolah reguler merasa menjadi warga kelas dua karena tak mendapat fasilitas serupa. Bukankah ini justru melestarikan dikotomi pendidikan: antara "sekolah rakyat" dan "sekolah orang"?

Sekolah Rakyat Bukan Sekolah Abadi

Tanpa reformasi sistem pendidikan nasional yang menyeluruh, Sekolah Rakyat akan jadi solusi jangka pendek yang usianya seumur pemerintahan. Ia bisa saja lahir dengan gegap gempita, namun akan tenggelam ketika ganti menteri atau pemimpin. Pendidikan yang berkelanjutan tidak bisa bergantung pada program-program proyekif dan politis.

Solusi Alternatif: Perkuat Sekolah Reguler, Jadikan Lebih Setara

Alih-alih membuat institusi baru, bagaimana jika pemerintah menyalurkan energi dan dana besar itu untuk memperkuat sekolah reguler yang sudah ada? Berikan afirmasi khusus bagi siswa dari keluarga miskin di sekolah-sekolah umum. Tambahkan program pendampingan sosial, pemberian makan siang, atau transportasi gratis.

Beri Wewenang Daerah, Dekatkan dengan Komunitas

Pendidikan yang baik lahir dari pemahaman lokal. Sekolah Rakyat semestinya tidak bersifat top-down, tapi menjadi hasil kolaborasi antara pusat dan daerah, serta melibatkan komunitas. Anak-anak harus tumbuh dalam konteks sosial mereka, bukan dimasukkan ke dalam "lembaga steril" yang justru menjauhkan mereka dari akar kehidupan.

Transformasi Pendidikan Butuh Kesabaran, Bukan Sensasi

Transformasi sejati tidak lahir dari satu atau dua tahun. Ia perlu waktu, konsistensi, dan keberanian untuk merevisi jika keliru. Pendidikan bukan panggung politik. Anak-anak bukan statistik. Sekolah Rakyat akan bermanfaat bila sungguh-sungguh menjadi proyek kemanusiaan, bukan sekadar proyek kebijakan.

Penutup: Jangan Ulangi Kolonialisme dengan Wajah Baru

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) telah mengingatkan bahwa gagasan Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan mirip dengan pola dualisme pendidikan di era kolonial: ada sekolah rakyat untuk kaum terpinggirkan, dan sekolah elit untuk kelompok mapan. Jangan sampai sejarah terulang dalam bentuk yang lebih canggih tapi tetap tidak adil.

Mari kita kawal gagasan ini dengan cermat. Jangan hanya terpesona oleh niat baik dan angka-angka target. Karena pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya sistem, tapi nasib dan masa depan anak-anak negeri ini. Wallahu a'lam.

Sumber berita:

  • Kompas.com. "Sekolah Rakyat Segera Diresmikan, Kemensos Bakal Gaet Guru ASN". Diakses 16 Maret 2025. Link Artikel
  • Tempo.co. "Mensos: Sekolah Rakyat Diperuntukkan untuk Keluarga Kurang Beruntung". Diakses 16 Maret 2025.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun