Mohon tunggu...
Karizal Tri Sabana
Karizal Tri Sabana Mohon Tunggu... Karizalts

Pembelajar Journalist CP : 082295374422 @karizal_sabana

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketegasan Disiplin yang Disalahpahami: Dilema Guru Masa Kini

15 Oktober 2025   20:21 Diperbarui: 15 Oktober 2025   20:24 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari terakhir, dunia pendidikan kembali ramai diperbincangkan gara-gara sebuah video viral dari SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten. Seorang kepala sekolah menampar muridnya yang kedapatan merokok di kantin. Dalam hitungan jam, video itu beredar di mana-mana, memicu berbagai komentar, dan akhirnya membawa sang kepala sekolah ke ranah hukum. Tak lama setelah itu, Gubernur Banten langsung menonaktifkan yang bersangkutan dengan alasan menjaga kondusifitas. Wakil Gubernur pun menilai tindakan tersebut mencerminkan ketidakmampuan kepala sekolah menjaga suasana belajar yang nyaman. Sementara itu, para siswa justru memilih mogok belajar sebagai bentuk dukungan untuk kepala sekolah mereka. Semuanya terjadi begitu cepat, begitu riuh, sampai kita lupa bertanya: apa sebenarnya yang terjadi di balik peristiwa itu?

Kasus ini menunjukkan betapa mudahnya masyarakat kita terbawa arus viral. Satu potongan video bisa membuat seseorang dihakimi ramai-ramai, tanpa konteks, tanpa kesempatan menjelaskan. Kepala sekolah yang sejatinya juga guru, orang tua kedua bagi murid-muridnya kini harus menanggung beban besar di mata publik. Padahal, di balik seragamnya, ia adalah pendidik yang setiap hari berjuang menjaga ratusan anak agar tidak tersesat dalam perilaku dan moral. Guru bukan hanya mengajar pelajaran, tapi juga menanamkan adab, sopan santun, tanggung jawab, dan batasan. Sayangnya, zaman sudah berubah. Menegur dianggap kasar, menasihati dianggap menyinggung, menegakkan disiplin malah dianggap melampaui batas.

Tidak ada guru yang berniat menyakiti muridnya. Tamparan, sekeras apapun bentuknya, tidak lahir dari kebencian. Walaupun tindakan itu memang tidak bisa dibenarkan secara hukum maupun etika, sering kali itu muncul dari kekecewaan seorang pendidik yang merasa gagal menahan muridnya agar tidak salah arah. Guru itu tahu, kalau sekarang tidak ditegur, besok bisa jadi lebih parah. Banyak guru menanggung perasaan semacam ini: disalahkan ketika murid berbuat salah, dituduh melampaui batas ketika menegur, dan dilaporkan ketika mencoba mendisiplinkan. Padahal, di hati kecilnya, guru hanya menginginkan satu hal agar anak didiknya sadar dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik.

Yang juga perlu kita cermati adalah sikap pemerintah daerah dalam menanggapi kasus ini. Langkah cepat Gubernur Banten menonaktifkan kepala sekolah memang terlihat sigap, tapi juga terasa terlalu reaktif terhadap tekanan publik. Dunia pendidikan tidak bisa diadili hanya berdasarkan potongan video atau komentar netizen. Wakil Gubernur yang mengatakan kepala sekolah gagal menjaga suasana kondusif seolah menutup mata bahwa murid yang merokok di sekolah juga telah melanggar aturan dan nilai moral yang seharusnya dijunjung tinggi. Dalam situasi ini, guru kembali menjadi korban dihujat di ruang publik sebelum sempat didengar penjelasannya.

Saya percaya, membela guru bukan berarti membenarkan kekerasan. Tapi memberi perlindungan bagi guru juga bukan hal yang salah. Di tengah zaman yang serba sensitif ini, profesi pendidik makin rentan disalahartikan. Karena itu saya setuju dengan kebijakan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, yang meminta orang tua menandatangani surat pernyataan agar tidak mempidanakan guru selama tindakan guru tersebut masih dalam konteks mendidik dan menegakkan disiplin. Langkah seperti ini penting, bukan untuk membiarkan kekerasan, tapi untuk menjaga agar proses pendidikan tetap manusiawi dan adil. Sekolah dan orang tua harus saling percaya bukan saling curiga.

Pendidikan sejatinya adalah kerja bersama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Kalau guru tidak lagi diberi ruang untuk menegakkan disiplin, maka sekolah hanya akan menjadi tempat belajar tanpa arah moral. Orang tua juga perlu sadar, pendidikan karakter tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada guru, sementara guru pun tidak bisa dibiarkan berjuang sendirian menghadapi kerasnya arus zaman. Kita perlu membangun ekosistem pendidikan yang saling menghargai, di mana teguran tidak dianggap hina, dan ketegasan tidak langsung disamakan dengan kekerasan.

Zaman memang berubah, tapi hati seorang guru tidak pernah berubah. Ia tetap ingin murid-muridnya tumbuh menjadi manusia yang beradab, bertanggung jawab, dan tahu batas. Sebelum kita ikut menghakimi seorang guru, mari kita bertanya lebih dulu sudahkah kita benar-benar memahami beratnya tugas dan pengorbanan mereka? Karena kalau semua guru takut untuk mendidik dengan ketegasan, jangan-jangan kelak kita akan melahirkan generasi yang tidak lagi tahu mana yang boleh dan mana yang tidak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun