Mohon tunggu...
Karina Isna Irawan
Karina Isna Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Economic Researcher

I love those random memories that make me smile no matter what is going on in my life right now. Because happiness comes when we stop complaining about the troubles we have and offer thanks for all the troubles we don't have. Life is a gift!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Interdependensi: Kekuatan Coklat Mengontrol Swiss dan Uni Eropa

28 Maret 2014   04:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:22 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13959289501479955023

Siapa yang tak mengenal merk cokelat Lindt, Sprungli, Suchard, Delfi atau Toblerone? Saya rasa merk-merk cokelat asal Swiss tersebut sudah tak asing lagi bagi para pencinta cokelat. Keberhasilan Swiss untuk muncul ke permukaan dan memperlihatkan kuasa pasarnya di dunia dengan cokelat membuat negaranya tidak hanya dikenal dengan netralitasnya di ranah politik internasional, tetapi berhasil menunjukan pada dunia bahwa kekuatan sebuah negara tidak hanya berasal dari hard power. Hingga akhirnya cokelat merupakan komoditas yang menjadi soft power untuk mempertahankan bargaining position Swiss dalam menghadapi berbagai tekanan Uni Eropa. Terutama ketika Swiss memutuskan untuk tidak bergabung menjadi anggota.

Secara geografis Swiss merupakan negara kecil yang dilingkupi pegunungan. Cukup aneh mengapa Swiss dapat dikenal dunia sebagai negara cokelat, karena pada dasarnya Swiss tidak beriklim tropis serta tidak melakukan kolonialisasi apapun ke Amerika Tengah, Afrika ataupun negara lain penghasil cokelat di dunia. Ternyata meskipun Swiss terletak di pedalaman tetapi posisinya dapat dikatakan strategis sehingga saat itu Swiss termasuk dalam rute perdagangan utama negara-negara Eropa yang menyebabkan impor bahan baku cokelat dapat masuk dengan mudah. Eksperimen hebat dari Daniel Peter yang memperkenalkan Milk Chocolate serta Rodolphe Lindt yang memperkenalkan varian cokelat lembut dan dapat meleleh di lidah (melting chocolate) pertama di dunia, menjadikan titik awal dunia melirik Swiss karena berbagai inovasi cokelat yang diperkenalkan (Wolf, 2002: 5) Hingga sekitar tahun 1900, Swiss dapat menembus pasar dunia serta memonopoli perdagangan cokelat sampai saat ini dan cokelat dinilai sebagai salah satu sumber kekuatan bagi Swiss.

Bagaimana Swiss (dengan cokelatnya) mempertahankan prinsip neo-realis di tengah desakan neoliberalis Uni Eropa?

Pada dasarnya Uni Eropa merupakan organisasi pemerintah internasional yang menganut prinsip neoliberalisme, dimana menekankan adanya kompetisi pasar bebas serta menolak campur tangan pemerintah. Dalam hal ini setiap negara anggota Uni Eropa diharuskan menyerahkan sebagian kedaulatan negaranya dengan membiarkan mekanisme pasar bebas berjalan tanpa intervensi dalam satu kerangka hukum yang sama. Kontras dengan Switzerland yang menganut prinsip neorealisme, dimana negara lebih memilih untuk bersikap self help ketimbang kooperatif. Dalam hal ini defensive realist seperti Kenneth Waltz berpendapat bahwa negara seharusnya mendapatkan power yang ‘seperlunya’ sehingga tujuan utama negara adalah survival, bukan mencari keuntungan seperti prinsip neoliberalisme dalam Uni Eropa (Baylis dan Smith, 2008: 210).

Kemampuan Swiss memonopoli pasar dunia dengan cokelat secara tidak langsung membuat negaranya memiliki keunikan tersendiri dibandingkan negara lainnya di dunia. Swiss pun digolongkan sebagai negara kaya dan terkenal dengan investment-friendly di berbagai negara di dunia pada saat ini. Perbedaan prinsip Swiss dan Uni Eropa mendorong masing-masing untuk saling mempertahankan kekuatannya. Geografis dipastikan menjadi faktor krusial mengapa Swiss terus berhubungan dengan Uni Eropa. Sikap skeptis Swiss terhadap Uni Eropa mulai dibuktikan dengan penolakan EEA (European Economic Area) pada tahun 1992 serta penolakan proposal negosiasi untuk menjadi anggota Uni Eropa pada tahun 2001 dengan suara penolakan sebanyak 76,8% (Morris dan White, 2011). Menurut Swiss, bergabung dengan Uni Eropa merupakan keputusan masing-masing negara dan keterlibatan dirinya dalam Uni Eropa tidak akan memberikan keuntungan yang sangat signifikan, terkecuali pengambilan sebagian kedaulatan negaranya saja. Sistem pemerintahan parlementer serta demokrasi langsung yang diusung oleh Swiss membuat persetujuan keanggotaan Uni Eropa ditentukan oleh hasil nasional referendum serta suara mayoritas dari berbagai wilayah di Swiss.

Konsistensi Swiss untuk lebih memilih bersikap self help ketimbang kooperatif kian terkoyahkan ketika Uni Eropa tumbuh semakin besar. Semakin terdesaknya perekonomian Swiss di tengah wilayah Uni Eropa, membuat Swiss memutuskan untuk membuka diri dengan menjalin kerjasama bilateral dengan Uni Eropa tanpa menjadi anggota serikatnya. Menggeser sedikit prinsip neorealisnya bukan berarti membiarkan kekuatan pasar menggerakan negaranya. Saya melihat setidaknya ada dua alasan mengapa pada akhirnya Swiss memutuskan untuk melakukan tindakan kooperatif dengan Uni Eropa. Pertama, ketika Uni Eropa tumbuh semakin besar dan menjadi organisasi pemerintah internasional yang menaungi 27 negara Eropa di dalamnya membuat Swiss kesulitan untuk melakukan perdagangan ke negara-negara anggota Uni Eropa, pasalnya Uni Eropa telah membuat satu kebijakan tentang penetapan tarif dan barriers yang sangat tinggi untuk setiap negara yang ingin melakukan perdagangan dengan negara anggotanya. Terdapat dua perjanjian bilateral utama yang diusung oleh Swiss dan Uni Eropa pada tahun 1999 dan 2004 yang secara garis besar berbicara tentang perjanjian perdagangan bebas serta integrasi Swiss ke pasar Uni Eropa secara internal (Verhoosel, 2012: 5). Tidak hanya Swiss yang membutuhkan Uni Eropa sebagai pasar ekspornya, tetapi sebagian besar angka impor Swiss pun berasal dari Uni Eropa. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya fakta bahwa Swiss telah menjadi partner utama Uni Eropa setelah, USA, China dan Rusia (Burkhalter, 2012: 7). Akibat adanya interdepedensi tersebut membuat Swiss dan Uni Eropa membuat satu kebijakan baru yang dinilai dapat menguntungkan kedua belah pihak. Kedua, negara-negara anggota Uni Eropa merupakan pasar ekspor cokelat terbesar bagi Swiss terutama Jerman, Perancis dan Italia. Hal tersebut dibuktikan dengan data dari Asosiasi Produsen Cokelat Swiss (CHOCOSUISSE) yang mencatat angka ekspor cokelat Swiss untuk negara-negara Uni Eropa yang mencapai 61% pada tahun 2011.


(The most important export markets in 2011, Swiss 2011)

Tingginya permintaan cokelat di negara-negara Eropa dan dunia secara tidak langsung memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan jumlah turis serta perekonomian Swiss saat ini. Ketiga, paham neoliberalisme yang berkembang akhir-akhir ini memaksa Swiss untuk melakukan tindakan kooperatif sebagai bentuk penyesuaian untuk tetap survive, karena pada dasarnya suatu paham atau ideologi dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman. Kesadaran Swiss untuk melakukan kerjasama dengan negara lain didasari atas kepentingan pribadi ekonominya serta sulitnya ekspor dan tingginya tarif suatu negara penerima jika tidak melakukan perjanjian perdagangan dengan negara produsen. Konsistensi Swiss dalam mempertahankan kedaulatan negara serta penggunaan suara mayoritas demi mencapai kepentingan bersama, dibuktikan dengan sikapnya yang sangat hati-hati dalam merumuskan satu perjanjian terutama dengan Uni Eropa.

Hubungan kompleks yang sebenarnya tercipta, dapat terlihat harmonis dengan penetapan kebijakan-kebijakan tertentu untuk mencapai satu sustainable development. Menyadari tingginya permintaan cokelat di negara-negara anggotanya serta berbagai kepentingan nasionalnya, Uni Eropa mengeluarkan satu kebijakan yang direspon dengan baik oleh Swiss ketika dirinya tidak ingin kedaulatannya terganggu. Saling membutuhkan satu sama lain membuat Uni Eropa dan Swiss dapat bersatu dalam satu sistem perdagangan bebas. Hal tersebut membuktikan kekuatan cokelat sebagai soft power dapat memainkan peranannya dalam perdagangan internasional serta merumuskan satu kebijakan baru yang bersifat saling menguntungkan.

Referensi

Baylis John, Steve Smith. 2008. The Globalization Of World Politics : an introduction to international relations. New York : Oxford University Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun