Setelah itu aku tak tahu lagi bagaimana ceritanya, karena ketika aku membuka mataku, aku sudah berada di Rumah sakit dan suamiku ada di dekatku.
Aku  tak mampu berbicara apapun, dan wajahku terasa sangat kaku, perbal telah menyelimuti semua kulit wajah yang dulu sangat aku banggakan itu.
Mas Adib selalu setia mendampingi merawat dan menjagaku, sampai tibalah waktunya perban di wajahku dilepas.
Mas Adib tersenyum setelah Perbanku di buka dan berkata "Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah memberikan keselamatan dan kesembuhan pada istriku"
Ku pikir aku benar-benar sembuh ketika mas Adib berbicara seperti itu, kupikir wajahku masih tetap cantik seperti dulu.
Sampai akhirnya ku menyadari bahwa dugaanku salah, sebuah kaca ruangan rumah sakit telah  memberi tahu ku betapa sangat buruknya wajahku saat ini.
Aku merota menangis sekeras-kerasnya, mas Adibpun memeluk dan mencoba menenangkanku...
Sesampainya di rumah, semua terasa hampa, aku merasa malu dan tak punya semangat hidup lagi.
Aku tak berani lagi menampakan diriku di hadapan orang lain , bahkan untuk menemani suami makan dan tidurpun aku tak berani, aku tak mau mas Adib jadi tidak selera makan karena melihat wajahku, terlebih anakku yang masih baru satu tahun pasti dia takut melihatku.
Aku selalu menghidar berkomunikasi dengan siapapun tanpa terkecuali suamiku, hingga akhirnya sampai suatu waktu saat jam sudah menujukan waktu tengah malam, aku sangat khawatir karena tak mendengar kedatangan suamiku pulang dari tempat kerjanya.
Sang suryapun muncul dari peraduannya, namun mas Adib belum juga memberi  kabar, membuat aku semakin resah mengkhawatirkannya.