Mohon tunggu...
Satya Karasuma
Satya Karasuma Mohon Tunggu...

Penulis setengah matang. A dreamer in a thorny way.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pembunuhan Berencana (Diam-Diam Diam)

13 Agustus 2012   05:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:51 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13448396202057568173

"Tak seorang pun tahu bahwa diam-diam dia kubunuh dengan diamku.

-Satya Karasuma, fiksimini."

"Kenapa diam saja?" ia bertanya dengan suaranya yang lembut. Aku diam. "Kenapa diam?" Ia lingkarkan kedua tangannya melalui leherku. Diam-diam kunikmati nafasnya yang segar. Namun aku tetap diam. Ada apa, tanyamu. Ssttt. Diam. Sebenarnya, diam-diam telah kususun rencana jahat untuk membunuhnya secara diam-diam. Jadi, tolong diam. "Jangan diam!" Kali ini ia mencoba untuk lebih kasar. Tapi aku tetap bergeming. Aku diam. "Tolong jangan diam saja!" Ia mencoba lebih lembut. Tak ada yang berubah. Aku tetap diam. Diam-diam aku telah bersekongkol dengan Sang Waktu. Kuminta agar ia diam-diam berlalu perlahan, seolah diam. Agar lama deritanya, begitu maksud yang diam-diam kupelihara. "Diammu itu kenapa?" Kupejamkan mataku. Tak mau kulihat wajahnya yang memelas. Namun diam-diam aku tahu, ada genangan air mata di kedua matanya. Namun aku diam. Aku tetap diam. "Kamu tahu? Kamu bisa membunuhku dengan diammu." Suaranya semakin sendu. Ia merengek. Aku diam. Diam-diam, Sang Malaikat Maut telah datang untuk memenuhi undangan yang telah kukirimkan diam-diam. Ia kuminta untuk membunuhnya secara diam-diam. "Tolong jangan diam dan jawab," katanya lagi. Tidakkah ia tahu, bahwa diam-diam aku telah menjawab dalam diamku? "Mengapa engkau hanya diam?" Sebuah pertanyaan yang diulang untuk kesekian kalinya. Namun itu yang terakhir. Esoknya tak ada lagi pertanyaan. Hanya ada diam. Ya, dia diam-diam diam. Diam tak bersuara. Diam tak bergerak. Diam dalam kekakuan. Akhirnya, ia diam. Diam-diam aku pergi ke pemakamannya. Aku hanya diam mendengar isak tangis yang terdiamkan oleh hujan. Mengapa, siapa, apa sebabnya, aku tahu pertanyaan itu diam-diam diulang-ulang dalam benak mereka. Namun semua yang ada di sana diam, tak tahu jawabnya. Aku, yang diam-diam mengetahui semuanya, hanya diam. Mengapa, tanyamu. Karena diam-diam aku mencintai cintanya yang dulu hanya diam-diam itu. Memang, diam-diam aku menerima cintanya. Namun ia hanya boleh mencintaiku dalam diam. Diamku adalah hukuman untuknya yang tak lagi mencintaiku secara diam-diam. Benar, diam-diam aku hanya ingin membuatnya terus mencintaiku secara diam-diam. Mencintaiku dalam diam. Maka, secara diam-diam, tanpa diketahui siapa pun, ia kubuat diam. Semoga saat ini, di dalam diamnya, ia kembali mencintaiku secara diam-diam... (Bisa juga dilihat di sini)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun