Mohon tunggu...
Monica Kappiantari
Monica Kappiantari Mohon Tunggu... -

Monica A. Kappiantari

Selanjutnya

Tutup

Nature

Dua Tahun UU Lingkungan Hidup: Tantangan Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di Indonesia

2 Oktober 2011   12:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:25 2282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dua Tahun UU Lingkungan Hidup:

Tantangan Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di Indonesia

Monica A. Kappiantari

1.Pendahuluan

Pada tanggal 3 Oktober 2009, Undang-Undang baru mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) telah disahkan di Indonesia. UU ini menetapkan tiga belas instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, diantaranya adalah intrumen baru, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA).

Tepat dua tahun setelah UU PPLH diundangkan: dimanakah kita sekarang? Apakah instrumen KLHS yang diandalkan sebagai “rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program (KRP)”, benar-benar telah dapat diaplikasikan sesuai definisi yang termaktub dalam pasal 1 UU PPLH no. 32/2009?

2.KLHS dalam UU PPLH

UU PPLH ini mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) ke dalam penyusunan atau evaluasi:

a.Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) nasional, provinsi, kabupaten/kota

b.Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional, provinsi, kabupaten/kota

c.Kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup

UU tersebut juga menyatakan bahwa KLHS dilaksanakan dengan mekanisme: (1) pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP) terhadap kondisi lingkungah hidup di suatu wilayah, (2) perumusan alternatif penyempurnaan KRP dan (3) rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan KRP yang mengintegrasi prinsip pembangunan berkelanjutan.

UU No. 32/2009 dalam pasal 16 menyebutkan bahwa KLHS memuat kajian antara lain: (1) kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan, (2) perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup, (3) kinerja layanan/jasa ekosistem, (4) efisiensi pembanfaatan sumber daya alam, (4) tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim dan (6) tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Sesuai pasal 18 UU tersebut, maka KLHS dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan dan ketentuan lebih lanjut mengenai tata-cara penyelenggaraan KLHS akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, yang sampai saat ini masih ditunggu penyelesaiaannya.

3.KLHS dalam Sistem Perencanaan di Indonesia

KRP yang menjadi konteks utama dari KLHS sesuai pasal 15 UU PPLH No. 32/2009 disusun berdasarkan regulasi dan panduan yang spesifik. Beberapa regulasi KRP telah mencantumkan pelaksanaan KLHS di dalam proses penyusunannya.

3.1KLHS dalam Tata Ruang

Proses penyusunan Tata Ruang melibatkan setidaknya tiga kementerian sebagai berikut:

a.Kementerian Pekerjaan Umum bertanggungjawab dalam persetujuan substansi (PP No. 15/2010)

b.Kementerian Dalam Negeri bertanggungjawab dalam evaluasi legalitas, administrasi dan kebijakan (Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 28/2008 tentang Tata cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Daerah)

c.Peran Kementerian Kehutanan disebutkan dalam pasal 31 PP No. 15/2010 yang menyatakan bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan berlaku ketentuan perundang-undangan bidang kehutanan.

PP No. 15/2010 menyatakan kewajiban melaksanakan KLHS dalam pengolahan dan analisis data dalam penyusunan RTRW untuk menentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Sedangkan PP No. 10/2010 PP No. 10/2010 mengenai Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, menyatakan bahwa apabila usulan perubahan peruntukan kawasan hutan berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan, wajib melaksanakan KLHS.

3.2KLHS dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah/Panjang

Acuan regulasi RPJM/P di Indonesia adalah UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Bappenas bertanggungjawab pada tingkat nasional sedangkan Bappeda bertanggungjawab pada tingkat provinsi, kabupaten/kota dalam melakukan menyusun, memantau dan melakukan evaluasi RPJM/P.

Dua Peraturan Pemerintah (PP) dikeluarkan untuk memandu prosedur penyusunan rencana pembangunan:

a.PP No. 40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional

b.PP No. 8/2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

Dalam melaksanakan PP No. 8/2008, Kementerian Dalam Negeri mengatur pelaksanaannya melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54/2010 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

3.3KLHS untuk Kebijakan, Rencana dan Program (KRP) Lainnya

Sesuai dengan pasal 15, selain RTRW dan RPJM/P, maka wajib KLHS juga berlaku bagi kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup. Pada saat tulisan ini disusun, belum terdapat ketentuan mengenai kriteria penapisan untuk menentukan apakah suatu K/R/P memiliki potensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.

4.Tantangan Pelaksanaan KLHS di Indonesia

Pengembangan KLHS di Indonesia telah dimulai pada awal tahun 2007 dengan melakukan kegiatan pengembangan kapasitas dan percontohan pelaksanaan KLHS di Indonesia. Pada tahun 2009, dua bulan sebelum diundangkannya UU PPLH No. 32/2009, Peraturan Menteri LH No. 27/2009 mengenai Panduan Pelaksanaan KLHS dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Dua tahun setelah pengesahan UU PPLH pada tanggal 3 Oktober 2009, masih banyak tantangan yang dihadapi KLHS, beberapa diantaranya dijabarkan sebagai berikut:

4.1Tafsiran terhadap Pasal-Pasal KLHS dalam UU PPLH

Diwajibkannya KLHS dalam UU PPLH sejak tanggal 3 Oktober 2009 membawa konsekuensi legal, yakni diperlukannya Peraturan Pemerintah untuk mengatur tata-cara penyelenggaraan KLHS Panduan Umum untuk menjelaskan lebih rinci dalam pelaksanaan KLHS.

Dalam kekosongan Peraturan Pemerintah dan Panduan Umum KLHS sampai saat ini, pelaksana KLHS berusaha menafsirkan pasal-pasal KLHS dalam UU PPLH, berusaha mencari bentuk dan mencoba membangun konsep pelaksanaan KLHS yang paling ‘pas’ untuk dilakukan di Indonesia, spesifik untuk jenis KRP yang dikaji, yang terintegrasi dengan kerangka hukum sistem KRP yang telah ada dan dibangun sebelum diwajibkannya KLHS.

Sampai dengan terwujudnya Peraturan Pemerintah dan Panduan Umum KLHS nanti, diperlukan kegigihan seluruh kementerian dan instansi terkait untuk selalu dan terus berkoordinasi untuk mencapai kesepakatan mengenai pelaksanaan KLHS, setidaknya kesepakatan mengenai prinsip-prinsip dasar, metode dan pendekatan KLHS.

4.2“Rangkaian Analisis” dalam Pasal 1 UU PPLH

Sampai dengan tahun 2009, dari beberapa laporan pelaksanaan KLHS dan dokumen pembelajaran KLHS (Dusik, 2010) terlihat bahwa KLHS hanya menghasilkan studi teoritis yang memiliki dampak yang tidak signifikan dalam pengambilan keputusan, yang pada akhirnya tidak memberikan dampak positif terhadap lingkungan hidup.

Pendekatan KLHS yang diperkenalkan pada tahun 2010, yang mencoba membawa KLHS sebagai instrumen yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan strategis di Indonesia, berpotensi membawa KLHS dari ujung pendulum yang satu ke ujung pendulum yang lain: yaitu lebih menekankan pada proses dan mengesampingkan analisis seperti diamanatkan UU PPLH No. 32/2009.

KLHS yang teoritik tanpa dapat memberikan pengaruh pada pengambilan keputusan adalah kesia-siaan. Namun KLHS yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan tanpa melakukan kajian, dapat disalahartikan sebagai bentuk legitimasi semata. Oleh karena itu, kedua hal, baik kajian maupun proses penting adanya. Pasal 16 UU PPLH telah menyediakan koridor pelaksanaan kajian dalam KLHS.

4.3Kebutuhan Praktis Pengesahan KRP vs. Makna KLHS

Kewajiban melaksanakan KLHS untuk RTRWN/D pada awalnya dilihat beberapa pihak sebagai suatu kendala bagi proses penyusunan KRP. Tanpa dilakukannya KLHS, sebuah RTRW meskipun telah mendapatkan persetujuan substansi dari PU, tidak dapat disahkan. Tanpa disahkannya RTRW, maka RPJM dan RPJP tidak memiliki acuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa wajib KLHS yang dicantumkan pada UU PPLH yang baru justru menghambat penyusunan KRP dan pelaksanaan pembangunan. Pada saat UU PPLH diundangkan sampai dengan tahun 2011 ini, beberapa Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) untuk RTRW provinsi, kabupaten/kota yang telah mendapatkan persetujuan substansi dari Kementerian Pekerjaan Umum belum dapat disahkan karena belum melakukan KLHS.

Diperlukan langkah yang cerdas untuk dapat menyelesaikan permasalahan di atas tanpa menyeret KLHS menjadi sekedar alat legitimasi. Jangan sampai untuk alasan tenggat waktu penyusunan dan penyelesaian suatu KRP, KLHS dilakukan sesingkat dan sepraktis mungkin, sehingga maknanya dalam memberikan dampak positif terhadap lingkungan hidup dan pembangunan yang berkelanjutan menjadi tersingkir.

4.4Sinergi antar KRP

Tidak dapat dipungkiri masih terdapat banyak ketidaksinkronan antara satu KRP dengan KRP lain dalam proses perencanaan.Hal ini kadang dapat mengalihkan fokus KLHS, sehingga perumusan isu strategis dalam proses pelingkupan KLHS bercampur aduk atau bahkan tersisih oleh masalah koordinasi antar instansi.

Yang terbaik yang bisa dilakukan dalam KLHS dalam ketidaksinkronan antar KRP adalah mendokumentasikan masalah tersebut, dan tidak menyelesaikan konfliknya (Therivel, 2010, halaman 102). KLHS seyogyanya tetap memfokuskan diri pada masalah lingkungan hidup dan sosial, tanpa menafikan masalah ekonomi.

5.Penutup

Sampai saat ini, semakin banyak pihak baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan akademisi yang telah mengenal KLHS dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Keberhasilan ini tidak terlepas dari usaha dan kerja keras pemerintah melalui jajarannya di berbagai kementerian.

Seperti telah diamanatkan dalam pasal 18 UU PPLH, pelibatan para pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun non-pemerintah, termasuk komunitas yang berpotensi terkena dampak dari KRP yang tengah disusun, merupakan modal utama untuk lebih ‘membumikan’ KLHS, menjadikannya bermakna untuk kepentingan rakyat dan bumi Indonesia.

Semoga kemajuan yang semakin berarti dalam pelaksanaan KLHS dapat kita raih pada ulang tahun ketiga UU PPLH di tahun 2012 yang akan datang.

Referensi

Dusik, J. (2010). SEA as a Dialogue and Planning Support Tool: Lessons from Pilot Projects in Indonesia, ESP2 Indonesia, www.esp2indonesia.org

Dusik, J. (2010). Technical Assistance to KLH on SEA Regulations, Guidance, and Climate Change Considerations in 2010, tidak dipublikasikan, ESP2 Indonesia

Dusik, J. et all (2010). Making SEA fit for Political Culture of Strategic Decision-Making in Indonesia: Recommendations for MOE General Guidance on SEA, ESP2 Indonesia, www.esp2indonesia.org

Dusik, J. and M. Kappiantari (2010). Customizing Strategic Environmental Assessment for Indonesian Decision-Making Context: Initial Lessons Learnt, ESP2 Indonesia, www.esp2indonesia.org

Geosys (2010). Project Final Report, ESP2 Indonesia, www.esp2indonesia.org

Kappiantari, M. (2010). Political, Cultural and Economic Context of Strategic Decision Making Indonesia. Briefing note for ESP2 International consultants, tidak dipublikasikan, ESP2 Indonesia

Kappiantari, M (2011) Catatan mengenai draft Rancangan Peraturah Pemerintah dan Panduan Umum KLHS, tidak dipublikasikan, ESP2 Indonesia.

Nawangsidi, H.(2010). Notes on SEA, ESP2 Indonesia, www.esp2indonesia.org

Nawangsidi, H.(2011). Lessons Learned from 2010 SEA Capacity Building Activities, ESP2 Indonesia, www.esp2indonesia.org

Pearson, M. (2010). Final Mission Report: SEA Applied in Local Development Plans – SEA Activities at Local Level, tidak dipublikasikan, ESP2 Indonesia

Saddler, B. (2010). Final Report: International Expert Assistance for SEA Applied in National Development Planning, tidak dipublikasikan, ESP2 Indonesia

Smutny, M. (2010). Final Report: SEA Applied in Development Planning and Policy Analysis, tidak dipublikasikan, ESP2 Indonesia

Sucofindo (2010). Final Report, YIPD (2010, ESP2 Indonesia, www.esp2indonesia.org

Suroso, D. (2010). Spatial Planning and Envirionmental Assessment in Indonesia: A Case Study of the Strategic Environmental Assessment of the Surabaya Spatial Plan, Lambert Academic Publishing, Deutschland

Therivel, R (2010). Strategic Environmental Assessment in Action, 2nd Edition, Earthscan, London and Washington.

YIPD (2010). Final Report: Local Technical Assistance on SEA Applied in Policy Analysis and Environmental Planning, ESP2 Indonesia, www.esp2indonesia.org

YIPD (2011). Final Report: Local Technical Assistance on SEA Applied in Policy Analysis and Environmental Planning, ESP2 Indonesia, www.esp2indonesia.org

Penulis adalah staf Environmental Support Programme 2 (ESP2), tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili ESP2 secara resmi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun